Jumat, 10 Februari 2017

Integrasi Rencana Strategis dan Pengukuran Kinerja pada Kementerian/Lembaga Pemerintahan di Indonesia

Integrasi Rencana Strategis dan Pengukuran Kinerja  pada Kementerian/Lembaga Pemerintahan di Indonesia


Sebagai tindak lanjut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, maka Pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), yang mewajibkan setiap instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya dalam mengelola sumber daya yang dimiliki dan dalam mencapai misi dan tujuan organisasi. Instruksi Presiden tersebut kemudian diperbarui dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), yang kemudian diatur secara lebih detail dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah.
SAKIP adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah (Perpres 29 Tahun 2014, Pasal 1).  
SAKIP merupakan integrasi dari sistem perencanaan, sistem penganggaran dan sistem pelaporan kinerja, yang selaras dengan pelaksanaan sistem akuntabilitas keuangan. Penerapan SAKIP bertujuan untuk mendorong peningkatan kualitas akuntabilitas kinerja, dan penerapan manajemen berbasis kinerja, yang meliputi 1) rencana strategis; 2) perjanjian kinerja; 3) pengukuran kinerja; 4) pengelolaan data kinerja; dan 5) pelaporan kinerja. Pertanggungjawaban kinerja tersebut dilaporkan dalam bentuk dokumen Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP).
Rencana strategis menjadi landasan penyelenggaraan SAKIP dan diatur ketentuannya lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) 2015-2019.
Menurut Peraturan Menteri tersebut, Rencana Strategis Kementerian/ Lembaga (Renstra K/L) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahunan. Renstra K/L memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, kegiatan pembangunan, kerangka regulasi, dan kerangka kelembagaan sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang disusun dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan bersifat indikatif.
Renstra K/L mempunyai posisi yang sangat strategis di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yaitu sebagai penjabaran RPJMN. Restra K/L selanjutnya akan dijabarkan secara lebih rinci dalam Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L), yang merupakan rencana kerja untuk periode satu tahun.
Selanjutnya dokumen Renja K/L yang telah tersusun, menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga sebagai organasasi/instansi pengguna anggaran dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). RKA-KL tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai input dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), sebelum nanti akhirnya ditetapkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dokumen RKA-KL kemudian akan digunakan sebagai input dalam penyusunan Laporan Kinerja Pembangunan K/L, Laporan Kinerja Anggaran K/L dan Laporan Kinerja Organisasi K/L.
 Keterkaitan antara Renstra K/L dengan proses perencanaan dan penganggaran dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dapat dilihat pada gambar berikut ini:



Gambar Hubungan Antar Dokumen Perencanaan

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2004 tentang penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara dan Lembaga disebutkan bahwa penganggaran pada Instansi Pemerintah menggunakan model Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK). PBK merupakan penyusunan anggaran yang dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
Untuk itu Kementerian Negara/Lembaga diharuskan menyusun anggaran dengan mengacu kepada indikator kinerja, standar biaya dan evaluasi kinerja. lndikator kinerja (performance indicators) dan sasaran (targets) merupakan bagian dari pengembangan sistem PBK. Penerapan PBK akan mendukung alokasi anggaran terhadap prioritas program dan kegiatan. Sistem ini terutama berusaha untuk menghubungkan antara keluaran (outputs) dengan hasil (outcomes) yang disertai dengan penekanan terhadap efektifitas dan efisiensi terhadap anggaran yang dialokasikan.
Penerapan PBK tersebut akan tercermin dalam dokumen anggaran (DIPA/RKA-KL). Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Sedangkan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu Kementerian Negara/Lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya. Penyusunan anggaran dalam dokumen RKA-KL merupakan bagian dari penyusunan APBN.
Terdapat 3 (tiga) tahapan utama dalam penerapan PBK, yaitu: 1) persiapan; 2) pengalokasian anggaran; dan 3) pengukuran dan evaluasi kinerja. Pada tahap persiapan langkah yang paling penting adalah penyediaan dokumen sumber. Langkah ini diperlukan dalam penyusunan informasi kinerja beserta rincian alokasi anggaran kegiatan yang mengarah pada pencapaian kinerja yang diharapkan. Dokumen sumber yang digunakan meliputi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang menyajikan data capaian kinerja tahun sebelumnya. 
LAKIP mempunyai dua fungsi: pertama, untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada seluruh stakeholders. Kedua, sebagai sarana evaluasi atas pencapaian kinerja dalam upaya memperbaikinya di masa yang akan datang. Informasi ini berguna sebagai bahan pertimbangan untuk merencanakan kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun berikutnya, termasuk target kinerja dan capaiannya. Sehingga terdapat kaitan yang jelas antara proses perencanaan dan pengukuran kinerja.
Pada tahap pengalokasian anggaran, setelah ditetapkannya prioritas pada setiap tingkatan unit organisasi, langkah selanjutnya adalah penetapan target.  Langkah ini berkaitan erat dengan perumusan indikator kinerja, baik pada tingkat program maupun pada tingkat kegiatan.  Langkah selanjutnya adalah melihat dan memperhitungkan ketersediaan anggaran untuk selanjutnya dituangkan dalam rincian pendanaan dan detil biaya.
Tahap terakhir dari penerapan PBK adalah pengukuran dan evaluasi kinerja. Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja yang telah dilaksanakan.  Sedangkan evaluasi kinerja merupakan salah satu alat analisa untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Hasilnya akan digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam penyusunan rencana dan anggaran pada tahun yang akan datang. Hal ini merupakan sebuah learning process
Pada tahap ini, indikator kinerja mempunyai peran yang sangat penting.  Indikator kinerja beserta targetnya merupakan penerjemahan Tujuan dan Sasaran Strategis Kementerian/Lembaga ke dalam bentuk yang lebih nyata dan terukur. Namun dalam prakteknya masih terjadi keterputusan antara indikator kinerja dengan tujuan dan sasaran strategis di Kementerian/Lembaga Pemerintah. Sehingga diperlukan mekanisme atau kerangka kerja yang tepat untuk mengintegrasikan rencana strategis dengan pengukuran kinerja.

Referensi:
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 dan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2004 tentang penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara dan Lembaga. Jakarta.

Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.


Kamis, 09 Februari 2017

Pendekatan Cara Berfikir Sistem (Systems Thinking) dan Total System Intervension (TSI)

Pendekatan Cara Berfikir Sistem (Systems Thinking
dan Total System Intervension (TSI)


Organisasi adalah sebuah sistem sosial, bersifat multi-dimensional dan beraneka rupa (multifaceted). Teori sistem menganggap organisasi sebagai sistem terbuka yang memiliki batasan (boundary) dan melakukan interaksi dengan lingkungan, serta harus beradaptasi terhadap perubahan lingkungan untuk bertahan hidup. Sehingga sangat relevan jika kita mengkaji permasalahan di dalam organisasi dengan pendekatan cara berfikir sistem (systems thinking). 
Systems thinking berasal dari General Systems Theory yang dikembangkan oleh Ludwig von Bertalanffy pada tahun 1920-an. Systems thinking berbeda secara mendasar dengan bentuk analisis tradisional. Pendekatan ini tidak terfokus pada bagian-bagian terpisah yang sedang diteliti, tetapi terfokus pada hubungan umpan balik antara sesuatu yang sedang diteliti dan bagian lain dari sistem. Pendekatan ini tidak melakukan isolasi pada bagian yang lebih kecil dari sistem, tetapi memperluas cakupannya pada interaksi yang lebih besar. Dengan cara ini systems thinking menciptakan pemahaman yang lebih baik dari gambar besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa systems thinking lebih holistik dan tidak reduksionis. Perbedaan Non System Thinking dan System Thinking dari aspek sistem dan bahasa sistem dapat dibandingkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 1 Perbedaan Non System Thinking dan System Thinking

Non System Thinking
System Thinking
Aspek Sistem
Reductionism (Martin dan Holwell, 2010)
Holism (Bawden, 1998)
Dogmatism (Martin dan Holwell, 2010)
Pluralism (Bawden, 1998)
Bahasa Sistem
Masalah
Situasi Masalah
Solusi (Pemecahan masalah)
Resolusi (Perbaikan keadaan)
Sumber: Jackson (2000) dalam Wilopo (2013)

Ide inti paling mendasar dari systems thinking adalah bahwa sistem mempunyai sifat yang menyeluruh dan sifat itu tidak akan muncul pada bagian sistem tersebut secara individu, hal ini disebut sebagai ‘emergent properties’. Konsep emergent properties ini berkaitan dengan sebuah pandangan terhadap realitas sebagai sebuah lapisan hirarki (Checkland dan Scholes, 1990:19).
Pada awalnya konsep sistem merujuk pada ‘natural systems’, yaitu sistem yang diciptakan oleh alam, dan ‘designed systems’, yaitu sistem yang diciptakan oleh manusia. Namun untuk menjelaskan kompleksitas situasi yang dihadapi oleh manusia, kemudian dikembangkan konsep Human Activity Sistem, yaitu seperangkat aktivitas yang disatukan dalam sebuah struktur logika untuk mencapai tujuan keseluruhan (kemampuan untuk mencapai tujuan menjadi sebuah emergent property secara keseluruhan).
Terdapat dua pendekatan dalam berpikir sistem yaitu hard dan soft system thinking. Secara sederhana, keduanya dibedakan atas dasar jenis masalah yang dihadapi. Hard system digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang terstruktur dengan jelas, sementara soft system digunakan untuk menyelesaikan situasi masalah yang kompleks, tidak  terstruktur dan tidak terdefinisi dengan baik. 
Hard systems thinking mengasumsikan bahwa dunia bagaikan mesin, terdiri dari berbagai sistem yag dapat dijadikan model dan “direkayasa”. Para pemikir hard system berasumsi realitas itu objektif, sehingga realitas tampak sama bagi siapa pun yang menjadi pengamat. Soft systems thinking tidak mengasumsikan bahwa dunia ini sistemik dan sangat teratur; sebaliknya, pendekatan ini mengasumsikan bahwa realitas adalah sesuatu yang “problematik”, dicirikan dengan berbagai pendekatan dan perspektif. Pemahaman terhadap realitas tergantung pada pengamat, interpretasinya, dan fokus yang dia pilih. Sehingga soft thinking lebih subjektif dan tidak objektif.
Secara formal, perbedaan antara Hard systems thinking dan Soft systems thinking dinyatakan dalam terminologi yang menekankan pada tradisi ontologis (sistem sebagai pencerminan entitas dunia nyata) dan tradisi epistomologis (sistem sebagai alat pembelajar untuk mengetahui entitas dunia nyata) (Reynolds dan Holwell, 2010).
 Maani and Cavana (2000) menjelaskan bahwa dua jenis pendekatan itu bersifat saling melengkapi dan memperkuat, karena masing-masing memiliki kelebihannya sendiri. Berikut ini perbedaan antara pendekatan hard system dan soft system:

Tabel  2
Perbedaan antara Pendekatan Hard System dan Soft System

HARD APPROACH
SOFT APPROACH
Definisi Model
Representasi dari real world
Sebuah cara untuk memperdebatkan dan memberikan wawasan tentang real world
Definisi Masalah
Jelas dan hanya satu dimensi (satu tujuan)
Ambigu dan multidimensi (banyak tujuan)
Pelaku dan Organisasi
Tidak dipertimbangkan
Merupakan bagian integral dari model
Data
Kuantitatif
Kualitatif
Tujuan
Solusi dan optimalisasi
Wawasan dan pembelajaran
Hasil
Produk dan rekomendasi
Perkembangan/kemajuan melalui pembelajaran kelompok
Sumber : diadaptasi dari Kambiz E. Maani and Robert Y. Cavana (2000:21)

Checkland dan Poulter (2006) menjelaskan perbedaan antara Hard Systems Thinking dan Soft Systems Thinking dari persepsi dan posisi pengamat (observer) sebagai berikut:

Tabel 3  Perbedaan Hard Systems Thinking dan Soft Systems Thinking

Hard Systems Thinking
Soft Systems Thinking
Systemicity
The world: systemic
The process of inquiry: systemic
The observer’s Perceived real world
Well structured could be broken down into systems and subsystems
Messy and ill structured
Observer position
“I spy systems which I can engineer”
“I spy complexity and confusion; but I can organize exploration of it as learning system”
Sumber: Checkland dan Poulter (2006)

Untuk memilih metodologi sistem yang tepat diantara dua pendekatan tersebut dapat menggunakan Total System Intervention (TSI). TSI yang dikembangkan oleh Flood dan Jackson pada tahun 1991merupakan sebuah meta-methodology, sebuah kerangka kerja bagi metodologi sistem, yang menyatukan berbagai metafora sistem dan berbagai pendekatan sistem untuk pemecahan masalah secara kreatif (Mehregen et al, 2011).
Flood dan Jakson menciptakan TSI karena ketika akan menggunakan metodologi sistem kita dihadapkan pada pendekatan sistem yang sangat banyak, sehingga sulit untuk memilih sebuah pendekatan yang relevan dengan konteks permasalahan yang dihadapi. Flood menjelaskan bahwa TSI pada intinya adalah sebuah proses yang memungkinkan kita untuk menggunakan berbagai metode yang berbeda, dengan terlebih dahulu berfikir secara kreatif tentang jenis permasalahan yang dihadapi organisasi, dan kemudian memilih metode yang paling tepat untuk memecahkan masalah tersebut secara efektif. Ada tiga tahap dalam proses TSI, yaitu kreativitas (creativity), pemilihan (choice) dan penerapan (implementation) (Mehregen et al, 2011).
Untuk memudahkan kita membuat keputusan yang tepat, Flood dan Jackson membuat sebuah pengelompokan dari situasi konteks masalah dalam sebuah matriks yang diperlihatkan pada tabel berikut ini:

Tabel 4
Matriks Pengelompokan Konteks Masalah


Unitary
Pluralist
Coercive
Simple
Simple- Unitary
Simple- Pluralist
Simple- Coercive
Complex
Complex- Unitary
Complex- Pluralist
Complex-Coercive
            (Sumber : Flood and Jackson (1991) dalam Mehregen et. al (2011))

Matriks tersebut terdiri dari dua dimensi; satu dimensi terkait dengan tingkat kompleksitas permasalahan sistem, dan dimensi yang lain terkait dengan hubungan dari pihak yang terlibat dalam konteks masalah tersebut. Jackson menjelaskan hubungan kedua dimensi sebagai berikut: sebuah hubungan kesatuan (unitary) terjadi jika sekelompok orang mempunyai nilai-nilai dan kepentingan yang seragam; sebuah hubungan pluralis terjadi jika nilai-nilai dan kepentingan berbeda tetapi mereka mempunyai kesamaan yang cukup besar untuk tetap menjadi anggota koalisi yang membentuk organisasi tersebut; dan hubungan konfliktual atau paksaan (coercive) terjadi jika kepentingan mereka berbeda dan tidak dapat disatukan, serta melahirkan kekuasaan yang menyebabkan salah satu kelompok dikorbankan (Mehregen et al, 2011).
Flood dan Jackson kemudian membuat sebuah rekomendasi metodologi sistem yang paling tepat terkait situasi kontekstual permasalahan yang relevan. Mereka menyebutnya sebagai sebuah ‘system of systems methodologies’, seperti terlihat pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5
Pengelompokan Metodologi Sistem Berdasarkan Asumsi Konteks Masalah


Unitary
Pluralist
Coercive
Simple
·   Operations research
·   Systems analysis
·   Systems engineering
·   System dynamics

·   Social systems design
·   Strategic assumption surfacing and testing

·   Critical systems heuristics
Complex
·   Viable system diagnosis
·   General systems theory 
·   Socio-technical systems 
·   Contingency theory

·   Interactive planning
·   Soft systems methodology

?

(Sumber : Flood and Jackson (1991) dalam Mehregen et. al (2011))

Untuk dapat menggunakan pendekatan TSI dengan lebih baik, terdapat subsistem untuk menerapkan setiap situasi permasalahan dalam aktivitas organisational, yang ditunjukkan pada Tabel 6 berikut ini:

Tabel 6
Subsistem dalam Total System Intervention

Systems methodology (examples)
Assumptions about Problem Contexts
Underlying metaphors
System dynamics
Simple-Unitary
Machine/Team
Viable systems diagnosis
Complex-Unitary
Organism/Brain/Team
Strategic Assumption Surfacing and Testing
Simple-Pluralistic
Machine/Coalition/Culture

Interactive planning
Complex-Pluralistic
Brain/Coalition/Culture
Soft systems methodology
Complex-Pluralistic
Organism/Coalition/Culture
Critical systems heuristics
Simple-Coercive
Machine/Organism/Prison
(Sumber : Flood and Jackson (1991) dalam Mehregen et. al (2011))

Perencanaan strategis dan pengukuran kinerja pada organisasi publik berada pada konteks kompleks-pluralis, karena jumlah pihak yang terlibat sangat banyak dengan berbagai cara pandang yang berbeda, serta permasalahan yang dihadapi sangat kompleks dan sulit untuk didefinisikan. Sehingga metodologi sistem yang tepat dalam penyusunan rencana strategis dan pengukuran kinerja adalah Soft System Methodology.

Referensi:
Checkland, Peter, and Jim Scholes. 1990. Soft Systems Methodology in Action. Chichester: John Wiley and Sons Limited.

Checkland, Peter. and Poulter, John. 2006. Learning for Action: A Short Definitive Account of Soft Systems Methodology and its use for Practitioners. Chichester: John Wiley and Sons Limited.

Maani, K. E. & Cavana, R. Y., 2000. Systems Thinking and Modelling. New Zealand: Pearson Education.

Mehregan, Mohammad Reza, Mohammad Safari Kahreh, dan Homayoun Yousefi. 2011. “Strategic Planning by use of Total Systems Intervention Towards the Strategic Alignment”. International Journal of Trade, Economics and Finance, Vol. 2, No. 2, April 2011.

Reynolds, Martin dan Sue Holwell. 2010. Systems Approaches to Managing Change: A Practical Guide. Editors. London: Springer.

Wilopo. 2013. Pembaruan Kelembagaan dan Tata Kelola Dalam Rangka Perbaikan ICT USO (Riset Tindakan Berbasis Multimetodologi Berbasis Soft Systems Methodology diperkaya dengan Social Network Analysis). Disertasi. Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.


Rabu, 08 Februari 2017

Manajemen Kinerja Strategis (Strategic Performance Management)

Manajemen Kinerja Strategis
(Strategic Performance Management)

Perencanaan strategis dan pengukuran kinerja selama ini dianggap sebagai dua tahap manajemen yang dilakukan secara terpisah. Perencanaan strategis merupakan bagian dari formulasi strategi dan pengukuran kinerja merupakan bagian dari implementasi strategi.
Formulasi strategi merujuk pada proses dimana sebuah organisasi menentukan arah dan lingkup jangka panjang secara keseluruhan dan merupakan sebuah upaya yang bertujuan mengembangkan keunggulan kompetitif organisasi sehingga meningkatkan kinerjanya. Sedangkan implementasi strategi merujuk pada proses merubah strategi menjadi tindakan dan memonitor serta menilai hasilnya. Walaupun secara konseptual berbeda, namun mulai disadari bahwa formulasi dan implementasi strategi saling tergantung. Strategi harus diformulasikan dengan baik agar dapat diimplementasikan, dan melalui pembelajaran selama implementasi maka strategi organisasi diperbaiki dan bahkan diformulasikan kembali (Gimbert et al, 2010).
Vishvesh Pathak (2009) dalam Afifah (2013) menyatakan bahwa kinerja sangat terkait dengan strategi, karena kinerja adalah hasil tindakan sedangkan tindakan yang dilakukan merupakan implementasi strategi. Kinerja merupakan pencapaian dari suatu kegiatan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pada tujuan strategis yang dicanangkan. Mengukur kinerja organisasi mempunyai peran penting dalam menterjemahkan strategi organisasi menjadi hasil (Pun dan White, 2005).
Menurut berbagai literatur pengukuran dan manajemen kinerja, dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja organisasi harus diselaraskan dengan tujuan strategis organisasi tersebut dan menjadi inti dari sebagai besar metodologi pengukuran dan manajemen kinerja. Strategi yang diselaraskan dengan pengukuran kinerja dapat memfasilitasi dan mendukung implementasi strategi.
Kegagalan sistem pengukuran kinerja tradisional yang terfokus pada unsur finansial dan tidak terkait dengan tujuan strategis telah mencetuskan revolusi pengukuran kinerja dalam bentuk kerangka kerja (framework). Framework ini bertujuan membantu organisasi menentukan ukuran yang mencerminkan tujuan dan menilai kinerja secara tepat, serta mengkaitkannya dengan rencana strategis. Framework tersebut sering juga disebut dengan Sistem Pengukuran Kinerja Strategis (Strategic Performance Measuremet System atau SPMS).
SPMS adalah proses pengukuran dan manajemen kinerja strategis dari sebuah organisasi, yang menggambarkan semua proses, metodologi, pengukuran dan sistem yang diperlukan untuk mengukur dan mengelola kinerja organisasi. SPMS merupakan mekanisme penting untuk menterjemahkan strategi menjadi berbagai tujuan dan ukuran yang dapat dikomunikasikan dengan jelas, memfasilitasi implementasi strategi, mengkaitkan tindakan manajemen dengan tujuan strategis dan meningkatkan kinerja organisasi (Maksoed et al, 2015).
Menurut Gimbert et al (2010), SPMS adalah sistem pengukuran kinerja yang mendukung proses pembuatan keputusan sebuah organisasi melalui beberapa ciri berikut ini: 1) integrasi strategi jangka panjang dan tujuan operasional; 2) penentuan pengukuran kinerja dengan beragam perspektif; 3) penentuan tujuan/ pengukuran/target/rencana aksi dari setiap perspektif; dan 4) adanya hubungan sebab akibat secara eksplisit antara tujuan dan/atau diantara pengukuran kinerja.
Beragam kerangka kerja dan model SPMS telah dikembangkan, diantaranya adalah Performance Measurement Matrix (Keegan et al, 1989), Results and Determinants Framework (Fitzgerald et al, 1991), SMART pyramid (Lync dan Cross, 1991), Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1992), dan Performance Prism (Kennerly dan Neely, 2000).
Semua kerangka kerja SPMS tersebut mempunyai tema yang sama, yaitu sebagai sebuah usaha yang serius untuk menyatukan pengukuran kinerja secara lebih erat dengan strategi dan visi jangka panjang organisasi (Pun dan White, 2005). Perbedaan antara pengukuran kinerja tradisional dengan SPMS dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2
Perbedaan antara Sistem Pengukuran Kinerja Tradisional dengan Strategic Performance Measurement System (SPMS)

Traditional PM systems
Emerging PM systems (SPMS)
Based on traditional accounting system
Based on company strategy
Based on cost/efficiency
Value-based
Trade-off between performance
Performance compatibility
Profit-oriented
Customer-oriented
Short-term orientation
Long-term orientation
Prevalence of individual measures
Prevalence of team measures
Prevalence of functional measures
Prevalence of transversal measures
Comparison with standard
Improvement monitoring
Aims at evaluating
Aims at evaluating and involving
Hinders continuous improvement
Stresses continuous improvement
Sumber: Based on De Toni and Tonchia (2001, p. 47); Ghalayini and Noble (1996, p. 68) dalam Pun dan White (2005).

Bernard Marr pada tahun 2006 dan Andre De Wall pada tahun 2007 memperkenalkan framework SPMS berupa Manajemen Kinerja Strategis (Strategic Performance Management). Keduanya menggunakan nama yang sama untuk dua buah framewok yang sebenarnya agak berbeda, dengan fungsi dan tujuan yang sama.
Bennard Marr (2006:3) mendefinisikan Manajemen Kinerja Strategis sebagai berikut:
“Strategic Performance Management (SPM) is defined as the organizational approach to define, assess, implement, and continuously refine organizational strategy. It encompasses methodologies, frameworks and indicators that help organizations in the formulation of their strategy and enable employees to gain strategic insights which allow them to challenge strategic assumptions, refine strategic thinking, and inform strategic decision-making and learning.”

Sedangkan definisi Manajemen Kinerja Strategis menurut Andree De Wall (2013:5) adalah sebagai berikut:
The process in which steering of the organization takes places through the systematic definition of mission, strategy, and objectives of the organization, making these measurable through critical success factors and key performance indicators in order to be able to take corrective and preventive actions to keep the organization on track to great performance”.

Bernard Marr (2006) membagi tahapan Manajemen Kinerja Strategis menjadi tiga tahapan utama, yaitu (1) memahami dan mengklarifikasi konteks strategi; (2) mengelola kinerja dalam sebuah lingkungan yang mendukung pembelajaran; dan (3) melakukan otomatisasi sistem tersebut dengan menggunakan software pengukuran kinerja. Framework manajemen kinerja strategis dapat dilihat pada bagan berikut ini:


Gambar 1 Framework Manajemen Kinerja Strategis (Sumber: Marr, 2006)

Framework manajemen kinerja strategis yang dikembangkan oleh Bernard Marr merupakan penyempurnaan dari berbagai framework SPMS yang ada sebelumnya dan sangat sesuai untuk diterapkan pada organisasi sektor publik. Oleh karena itu dijadikan research framework dalam penelitian ini.
Penelitian ini mengkaji ketiga tahapan dari framework tersebut dan memfokusnya sebagai alat untuk mengintegrasikan rencana strategis dan pengukuran kinerja. Ketiga tahapan tersebut dikaji karena melibatkan banyak pihak, membutuhkan analisa data yang akurat, memberikan dampak yang besar bagi organisasi dan sesuai dengan situasi permasalahan yang kompleks dan tidak terstruktur. 
Berikut ini langkah-langkah Manajemen Kinerja Strategis yang disarikan dari buku Bernard Marr “Strategic Performance Management, Levering and Measuring Your Intangible Value Driver” tahun 2006, dan “Managing and Delivering Performance” tahun 2008.
1.    Mengklarifikasi konteks (context) strategi, yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
    a.    Memahami Kondisi Batasan Strategis (Understanding Strategic Boundary Conditions), yang terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1)    Mengklarifikasi Tujuan Dasar Organisasi (The fundamental  purpose of the organization). Tujuan inti sebuah organisasi adalah alasan utama keberadaannya. Hal ini biasanya digambarkan dalam pernyataan tujuan atau pernyataan misi, yang secara tepat menggambarkan mengapa sebuah organisasi ada dan apa yang dilakukannya. Pernyataan misi berfungsi sebagai petunjuk tanpa batasan waktu, yang akan tetap sama selama berpuluh tahun jika dibuat dengan baik.
2)    Mengklarifikasi tujuan visioner jangka panjang yang akan organisasi capai (The long-term visionary  goals that the organization will pursue). Tujuan visioner menguraikan tujuan yang akan dicapai organisasi dalam jangka panjang, menggambarkan outcome yang diinginkan yang memberikan inspirasi dan energi serta membantu anggota organisasi menciptakan sebuah gambaran mental dari target tersebut. Biasanya diekspresikan dalam pernyataan visi yang menggambarkan apa yang organisasi inginkan dan apa yang ingin dicapai.
3)    Mengklarifikasi nilai-nilai inti yang organisasi pegang dalam menjalankan tujuan dan mencapai sasaran (The core  values that the organization commits to on the way to delivering its purpose and achieving its goals). Nilai-nilai inti merefleksikan nilai-nilai terdalam yang dimiliki organisasi dan harus independen secara total dari prioritas strategis dan pendekatan manajemen yang bersifat sementara. Nilai-nilai inti dapat diartikulasikan dalam bentuk pernyataan nilai (value statements) yang menentukan batasan tingkah laku bagi anggota organisasi. Nilai-nilai inti menguraikan prinsip-prinsip bagaimana anggota organisasi berinteraksi di dalam dan di luar organisasi.

        b.    Melakukan analisis eksternal yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1)    Mengidentifikasi Stakeholder utama (Identifying Key Stakeholders). Salah satu komponen penting dari penentuan strategi, terutama bagi organisasi publik adalah mengidentifikasi stakeholder utama yang benar-benar penting bagi organisasi. Stakeholder utama adalah seseorang, sekelompok orang atau sebuah institusi yang mempunyai sebuah investasi, saham atau kepentingan dalam sebuah organisasi dan yang mungkin secara signifikan mempengaruhi keberhasilan organisasi tersebut.
2)    Menilai Sektor dan Lingkungan Kompetisi (Assesing sector and Its Competitive Landscape). Organisasi publik beroperasi di sektor tertentu dalam menyediakan jasa atau produk mereka. Sehingga menjadi penting untuk menganalisa lingkungan kompetisi dari sektor atau industri tersebut, hal ini juga disebut sebagai analisis mikro (microanalysis)
3)    Menilai Kekuatan Lingkungan (Assesing The Environmental Forces). Organisasi harus memahami kekuatan lingkungan eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan organisasi tetapi di luar kontrol mereka. Hal ini meliputi peraturan pemerintah, kondisi ekonomi, penduduk serta kekuatan sosial dan budaya. Penilaian terhadap lingkungan eksternal ini disebut sebagai analisis makro (macroanalysis).
4)    Melihat ke Masa Depan (A Look Into The Future). Komponen lain yang membantu kita untuk memahami lingkungan luar adalah analisis skenario (scenario analysis). Dasar dari perencanaan skenario melibatkan penentuan dan visualisasi pandangan alternatif tentang bagaiman kondisi saat ini dalam lingkungan operasi yang mungkin berubah di masa depan. Analisis ini menyaring berbagai kemungkinan kondisi masa depan yang tak terhingga menjadi hanya beberapa pandangan terkait.
5)    Mengklarifikasi Proposisi Nilai Stakeholder (Clarifying The Stakeholder Value Proposition). Proposisi nilai stakeholder adalah sebuah pernyataan tentang cara bagaimana suatu organisasi akan menggunakan sumber daya dan kompetensinya untuk memberikan kombinasi nilai tertentu bagi stakeholder utamanya. Sebuah proposisi nilai akan menyatukan elemen-elemen seperti kebutuhan pelanggan dan kapabilitas organisasi. Tiga proposisi nilai pelanggan yang mendasar adalah keunggulan operasional (operational excellence), kepemimpinan produk (product leadership), dan kedekatan dengan pelanggan (customer intimacy).

   c.    Melakukan analisis internal untuk memahami sumber daya yang dimiliki organisasi. Sumber daya adalah faktor pemungkin (enablers) dan pendorong (drivers) yang menjadi fondasi kinerja masa depan. Sumber daya ini dapat dikategorikan dalam sumber daya keuangan (monetary), fisik (physical) dan intangible resources yang terdiri dari sumber daya manusia (human),  hubungan (relational) dan struktur (structural).
Sumber daya organisasi saling tergantung (interdependent), semuanya saling terkait membentuk dasar bagi kapabilitas dan kompetensi inti (core competencies). Kompetensi inti menjadi fondasi terciptanya proposisi nilai stakeholder dan berbeda dengan kapabilitas. Kapabilitas merujuk pada setiap aktivitas internal organisasi yang dilakukan dengan sangat baik, sedangkan kompetensi inti adalah aktivitas internal yang dilakukan dengan sangat baik yang menjadi pusat bagi strategi organisasi, kemampuan kompetisi (competitiveness) dan proposisi nilai.

     d.    Memetakan dan Mendefinisikan Strategi (Mapping and Defining Strategy).
Pada tahap ini dibuat model bisnis yang terdiri dari Value Creation Maps (VAM) dan Value Creation Narrative (VCN). Ada dua fungsi utama dari peta strategis visual dan deskripsi strategi secara narasi, yaitu: (1) memastikan strategi tersebut terintegrasi dan terpadu (cohesive); dan (2) supaya mudah dalam mengkomunikasikan strategi tersebut.
Value creation maps (VCM) merupakan alat terbaru untuk memvisualisasikan sebuah strategi organisasi. VCM menyatukan tiga elemen strategi, yaitu proposisi nilai output stakeholder (output stakeholder value proposition), aktivitas inti (core activities), dan elemen pendukung strategis (enabling strategic elements) atau pendorong kinerja (drivers of performance). Ketiga komponen tersebut kemudian ditempatkan dalam keterkaitan satu dengan yang lain dan divisualisasikan pada selembar kertas untuk menciptakan sebuah gambar strategi yang lengkap terintegrasi dan koheren.
Deskripsi tertulis strategi yang singkat dan padat juga harus dibuat, yang disebut dengan Value Creation Narrative (VCN) yang berisi sekitar 500 – 1.000 kata, tentang bagaimana organisasi bermaksud untuk menciptakan nilai dengan menyebutkan proposisi nilai, aktivitas inti dan sumber daya utama yang diperlukan. Sebuah strategi yang didefinisikan dengan jelas akan menjadi dasar bagi manajemen kinerja strategis yang bagus.
     
     e.    Menyelaraskan Organisasi dengan Strategi (Aligning Organization with Strategy).
Menyelaraskan organisasi dengan strategi yang telah disepakati dan dipetakan sangat penting untuk mewujudkan strategi dan memastikan strategi tersebut dapat diimplementasikan. Aktivitas organisasi harus diselaraskan dengan tujuan strategis yang diuraikan dalam VCM. Aktivitas adalah semua tugas, proyek, dan program yang dilakukan oleh organisasi.
Aktivitas prioritas kemudian diterjemahkan ke dalam rencana operasional dengan mempertimbangkan batasan anggaran. Sehingga, anggaran juga harus diselaraskan dengan strategi yang ada pada VCM.

2.    Mengelola Kinerja dalam Lingkungan yang mendukung Pembelajaran (Managing Performance in An Enabled Learning Environment). Langkah ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
     a.    Membuat Pertanyaan Kinerja Kunci (Creating Key Performance Questions).
Pertanyaan Kinerja Kunci (Key Performance Question/KPQ) adalah pertanyaan manajemen yang menangkap secara tepat apa yang orang ingin ketahui tentang kinerja organisasi serta setiap elemen dan tujuan dalam VCM. Dasar pemikirannya adalah bahwa KPQ memberikan petunjuk untuk mengumpulkan indikator kinerja yang relevan dan berarti (meaningful), dan memfokuskan perhatian kita pada apa yang benar-benar diperlukan untuk didiskusikan ketika kita meriview kinerja. KPQ meletakkan data kinerja ke dalam konteks sehingga memfasilitasi komunikasi, membimbing diskusi dan mengarahkan pembuatan keputusan.

     b.    Merancang Indikator Kinerja (Designing Performance Indicators).
Indikator kinerja adalah alat manajemen yang penting. Indikator kinerja memberikan kita informasi dan bukti yang membantu kita mendapatkan wawasan baru, memungkinkan kita untuk belajar, membantu kita dalam pembuatan keputusan dan memungkinkan kita bertindak untuk memperbaiki kinerja di masa depan.
Sebuah indikator kinerja harus releven dengan informasi yang diperlukan organisasi. Sehingga indikator kinerja harus: (1) terkait dengan prioritas strategis organisasi, (2) terkait dengan pertanyaan organisasi yang penting dan belum terjawab, dan (3) terhubung dengan keputusan penting yang harus dibuat oleh organisasi.
Sebuah indikator kinerja harus bermakna (meaningful), sehingga kita harus mengumpulkan informasi yang tepat, dari sumber yang tepat, pada frekuensi yang tepat, dan kita harus memberikan bukti dan informasi pada orang yang tepat, dalam format yang tepat dan pada waktu yang tepat.

     c.    Menganalisa dan Menterjemahkan (Analyse and Interpret)
Menghadirkan data ‘mentah’ kepada manajemen bukanlah ide yang bagus, karena setiap orang akan salah menterjemahkannya sesuai dengan kebutuhan mereka. Data tersebut harus diolah, dianalisa dan diterjemahkan sehingga dapat dihadirkan secara jelas kepada pihak manajemen. Perhatian juga harus diberikan untuk memastikan kualitas data yang diberikan, karena manjemen harus percaya pada data yang mereka terima untuk membuat keputusan penting berdasarkan informasi tersebut.

     d.    Membuat Keputusan Berdasarkan Informasi (Make Informed Decisions)
Informasi yang dihadirkan kepada manajemen ada dua tingkatan, yaitu informasi operasional dan informasi strategis. Informasi operasional kinerja organisasi dalam mencapai tujuan harian dapat dilihat dari sistem pengukuran yang sama, dan akan memungkinkan manajemen untuk melakukan tindakan sesuai informasi tersebut. Tetapi informasi yang sama yang ditempatkan dalam konteks strategi lebih penting. Manajemen harus melihat kinerja hari ini dalam kaitannya dengan kebutuhan organisasi di masa depan.

     e.    Bertindak (Act)
Keputusan berdasarkan informasi yang dihasilkan menjadi dasar tindakan, kemudian tindakan tersebut kembali dievaluasi dan menjadi insight atau pembelajaran untuk meningkatkan kinerja di masa yang akan datang. Proses pembelajaran ini membentuk double-loop learning, yaitu model, sistem pengukuran dan indikator kinerja yang digunakan selalu diuji keakuratannya dan menjadi masukan untuk memperbaiki model, sistem pengukuran dan indikator kinerja tersebut.

     f.     Belajar dan meningkatkan kinerja (Learn and improve performance).
Langkah ini bertujuan untuk mengembangkan budaya yang mendorong kinerja. Sebuah budaya organisasi menunjukkan keyakinan bersama, norma, nilai, asumsi dan harapan, yang mempengaruhi pola tindakan dan kinerja tertentu yang menjadi karakter sebuah organisasi.
Budaya yang mendorong kinerja berarti bahwa orang-orang di dalam sebuah organisasi secara terus menerus bekerja keras untuk belajar dan memperbaiki. Pusat dari budaya yang mendorong kinerja adalah pembelajaran dan peningkatan organisasional. Penekanan pada pembelajaran dan perbaikan adalah aspek paling penting dalam menciptakan budaya yang mendorong kinerja. Dengan didukung oleh empat hal yaitu: (1) rasa senasib sepenanggungan, yang menyatukan anggota organisasi dan memberikan komitmen emosional untuk sukses; (2) akuntabilitas yang jelas dan dapat diterima terhadap hasil dan kinerja di seluruh organisasi; (3) kejujuran dan kebenaran terhadap hasil kinerja, yang menciptakan atmosfir kepercayaan dan saling menghormati; dan (4) definisi yang jelas tentang apa budaya pendorong kinerja, yang menciptakan pemahaman dan penerimaan terhadap budaya pendorong kinerja di seluruh organisasi.
Ada empat pondasi (building blocks) yang harus diimplementasikan secara bersamaan untuk menciptakan budaya kinerja yang tepat, yaitu:
1.    Kepemimpinan yang kuat untuk mendorong kinerja (A strong performance-driven leadership).
2.    Sistem penghargaan dan pengakuan yang terkait dengan kinerja (Reward and recognize system that is linked to performance).
3.    Mekanisme pelaporan dan komunikasi yang tepat (Appropriate reporting and communication mechanisms).
4.    Pertemuan kinerja yang interaktif dan konstruktif (Interactive and constructive performance meetings).
Untuk mengoptimalkan implementasi Manajemen Kinerja Strategis, Bennard Marr menekankan pentingnya penggunaan aplikasi perangkat lunak manajemen kinerja. Menurutnya,  tidak mungkin untuk melakukan pengukuran dan mengelola kinerja dalam lingkup organisasi tanpa dukungan perangkat lunak khusus untuk manajemen kinerja.
Keuntungan utama dari aplikasi perangkat lunak manajemen kinerja adalah: (1) membantu melibatkan anggota organisasi (dan stakeholder eksternal) dalam manajemen kinerja melalui fitur komunikasi dan kolaborasi yang powerful; (2)  menyediakan para pengguna akses terhadap analisa manajemen kinerja yang powerful; dan (3) menciptakan satu gambaran kinerja yang terintegrasi.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sistem manajemen kinerja akan mengarah pada peningkatan hasil. Namun sayangnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 56% dari implementasi menajemen kinerja mengalami kegagalan (De Waal, 2007).
Ittner and Larcker (2003) dalam Mittal (2015) menemukan bahwa penyebab kegagalan tersebut adalah tidak terkaitnya (non-linkage) pengukuran dengan strategi, tidak tervalidasinya (non-validation) hubungan sebab dan akibat, kesalahan penetapan target kinerja dan ketidaktepatan pengukuran.
Demikian juga Kaplan and Norton (1996) dalam Mittal (2015)  menunjukkan empat penghalang implementasi Strategic Performance Measurement (SPM), yaitu tidak ada keterkaitan tindakan dengan strategi; tidak ada keterkaitan strategi dengan tujuan departemen, tim dan individu; tidak ada keterkaitan strategi dengan alokasi sumber daya; dan tidak ada umpan balik strategi. Mereka juga menginvestigasi kegagalan implementasi SPM disebabkan oleh tidak dipilihnya pengukuran yang tepat dan kritis, tidak selaras dengan strategi, kurangnya komitmen manajemen senior, lemahnya komunikasi organisasi dan terbatasnya penerapan manajemen kompensasi.
Menurut de Waal  (2007), alasan utama rendahnya tingkat keberhasilan implementasi tersebut adalah fakta bahwa faktor perilaku (behavior) dalam manajemen kinerja sering kali diabaikan. Agar implementasi manajemen kinerja dapat berhasil maka kedua sisi manajemen kinerja, yaitu instrumental (mengembangkan indikator kinerja) dan perilaku (behavior) menjadi faktor yang sangat penting.
De Wall (2007) menawarkan sebuah metode untuk mendukung keberhasilan implementasi manajemen kinerja yang menggabungkan kedua sisi  manajemen kinerja, yaitu The Strategic Performance Management Development Cycle.  Seperti terlihat pada gambar di bawah ini:



Gambar 2 The Strategic Performance Management Development Cycle
(Sumber: De Wall, 2007)  

The strategic performance management development cycle terdiri dari tiga tahapan. Tahap 1 yaitu merancang sebuah model manajemen strategi. Pada tahap ini organisasi membuat struktur strategi yang menjadi dasar pembuatan sistem pengukuran kinerja. Langkah-langkah pada tahap 1 terdiri dari: menyiapkan struktur tanggung jawab yang konsisten; mengembangkan tujuan skenario dan tujuan strategis; dan mengembangkan rencana aksi strategis.
Tahap 2 yaitu merancang sebuah model pelaporan strategis. Pada tahap ini organisasi membuat struktur pelaporan untuk memantau dan menyesuaikan eksekusi strategi dan perkembangan proses bisnis inti. Tahap ini terdiri dari mengembangkan Faktor Sukses Kunci (Critical Success Factor) dan Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicator); membuat laporan aksi dan pengecualian (exception and action report); mengembangkan sebuah Balanced Scorecard (BSC); dan menerapkan sebuah arsitektur teknologi manajemen informasi.
Tahap 3 yaitu merancang sebuah model perilaku yang mendorong kinerja. Pada tahap ini organisasi membangun budaya yang diperlukan untuk menjadi organisasi yang didorong oleh kinerja. Tahap ini terdiri dari membangun karakteristik perilaku yang mendorong kinerja; menyelaraskan tujuan personal dengan tujuan strategis; dan mengkaitkan manajemen kinerja dengan manajemen kompetensi.
Implementasi manajemen kinerja strategis tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Hal ini merupakan proses bertahap dimana anggota organisasi diyakinkan terhadap keuntungan dari manajemen kinerja strategis dan menjadi terbiasa dengan cara baru tersebut.



Referensi:
Afifah. 2013. “Pengukuran Kinerja Strategik: Perspektif Tradisional dan Alternatif”. Polibisnis, Volume  5  No. 1 April 2013. Politeknik Negeri Padang.

de Wall, Andree. 2007. "Successful Performance Management? Apply the Strategic Performance Management Development Cycle!", Measuring Business Excellence, Vol. 11 Iss 2 pp. 4 – 11.

_____________. 2013. Strategic Performance Management, A Managerial and Behavioral Approach. New York: Pallgrave MacMillan.

Gimbert, Xavier, Josep Bisbe dan Xavier Mendoza. 2010. “The Role of Performance Measurement Systems in Strategy Formulation Processes”, Long Range Planning Journal, doi:10.1016/ j.lrp.2010.01.001.

Maksoud, Ahmed Abdel, Said Elbanna, Habib Mahama dan Raili Pollanen. 2015. "The use of performance information in strategic decision making in public organizations", International Journal of Public Sector Management, Vol. 28 Iss 7 pp. 528 – 549.

Marr, Bernard. 2005. Strategic Performance Management, Levering and Measuring Your Intangible Value Driver, Elsevier Ltd, Oxford: UK.

____________. 2008. Managing and Delivering Performance, Elsevier Ltd, Oxford: UK.

Mittal, Mohammad Akhtar Raj Kumar. 2015. "Implementation Issues and Their Impact on Strategic Performance Management System Effectiveness – An Empirical Study of Indian Oil Industry", Measuring Business Excellence, Vol. 19 Iss 2 pp. 71 – 82.

Pun, Kit Fai dan Anthony Sydney White. 2005. “A Performance Measurement Paradigm for Integrating Strategy Formulation: A Review of Systems and Frameworks”. International Journal of Management Reviews. Vol. 7 Issue 1, pp. 49-71.