DONALD TRUMP, JOKOWI, DAN FREEPORT
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke 45, membuat para pemimpin dunia merasa was-was. Hal ini disebabkan selama kampanye Trump mengeluarkan pernyataan dan rencana kebijakan yang kontroversial dan berbau rasis. Diantaranya adalah akan membangun tembok antara Meksiko dan Amerika Serikat untuk menghentikan orang yang masuk secara gelap, akan mengusir imigran ilegal yang tinggal di Amerika, dan orang yang masuk ke AS, termasuk Muslim, akan menghadapi pemeriksaan ketat untuk mencegah masuknya kelompok ekstrem seperti ISIS
Kebijakan kontroversial tersebut mulai dibuktikan dengan dikeluarkannya perintah eksekutif dari Donald Trump, yang melarang masuknya warga negara dari tujuh negara Muslim atau "Muslim ban". Berdasarkan perintah eksekutif Trump tersebut, pengungsi dari seluruh dunia akan ditangguhkan untuk memasuki AS selama 120 hari, sementara semua imigran dari apa yang disebut "negara dengan keprihatinan terorisme" akan ditangguhkan selama 90 hari. Negara yang termasuk dalam larangan tersebut adalah Irak, Iran, Suriah, Sudan, Libya, Somalia and Yaman.
Tidak masuknya negara Indonesia ke dalam "Muslim ban" mungkin karena umat Islam Indonesia dianggap cukup toleran dan tidak terlalu berbahaya bagi Amerika Serikat. Namun hal ini juga menunjukkan bahwa Trump mempunyai kepentingan yang sangat besar untuk menjaga hubungan dengan Indonesia. Salah satu kartu truf yang membuat Indonesia tidak bisa dianggap remeh oleh Trump adalah keberadaan PT. Freeport Indonesia (PTFI).
PTFI adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya (90.64%) dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc dan sisanya dikuasai oleh pemerintah Indonesia. Penguasaan saham tersebut sebesar 81.28% secara langsung dan 9.36% melalui anak perusahaan, PT Indocopper Investama. Freeport McMoRan Copper and Gold pada awalnya merupakan sebuah perusahaan kecil yang berasal dari Amerika Serikat yang memiliki nama Freeport Sulphur. Freeport McMoRan didirikan pada tahun 1981 melalui merger antara Freeport Sulphur, yang mendirikan PT Freeport Indonesia dan McMoRan Oil and Gas Company.
Wilayah penambangan PTFI saat ini seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Pada awal beroperasinya PTFI hanya mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah penambangan yang luas itu dieksploitasi pada 2 periode, yaitu periode Ertsberg (1967-1988) dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi bijih logam yang dikelola PTFI awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai tahun 1995 naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali lipat. Data tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton metrik bijih logam.
Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7.3 juta ton tembaga dan 724.7 ton emas telah dikeruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2.4 kilometer pada daerah seluas 499 hektar dengan kedalaman 800 m.
Eksploitasi yang dilakukan oleh PTFI adalah bukti kesalahan pengurusan sektor pertambangan di Indonesia, dan bukti tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap hasil tambang hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah sekian lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industri pertambangan di tanah Papua. Tak hanya sebatas itu, pemerintah juga tidak mampu mengontrol perusahaan pertambangan agar lebih bertanggung jawab. Itulah sebabnya pemerintah terus membiarkan PTFI membuang milyaran limbahnya ke alam. Meskipun belakangan diketahui bahwa PTFI belum memiliki izin pembuangan limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3). Kementerian Lingkungan Hidup bahkan sudah menemukan sejumlah bukti pelanggaran ketentuan hukum lingkungan sejak tahun 1997 hingga 2006. Pemerintah juga tidak berani memaksa PTFI melakukan renegosiasi Kontrak Karya, meskipun banyak pihak mendukung dan berbagai basis argumentasi telah dimiliki.
Kontrak Karya yang melibatkan pemerintah Indonesia dan PTFI ditenggarai sangat merugikan kepentingan negara. Potensi kerugian disebabkan oleh rendahnya royalti yang hanya 1% - 3,5%, serta berbagai pelanggaran hak adat masyarakat sekitar maupun pencemaran lingkungan.
PTFI beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU 11/1967 mengenai PMA. Berdasarkan KK ini, PTFI memperoleh konsesi penambangan di wilayah seluas 24,700 acres (atau seluas +/- 1,000 hektar. 1 Acres = 0.4047 Ha). Masa berlaku KK pertama ini adalah 30 tahun. Kemudian pada tahun 1991, KK PTFI di perpanjang menjadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali @ 10 tahun. KK PTFI akan berakhir di tahun 2021 jika pemerintah tidak menyetujui usulan perpanjangan tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014, perpanjangan Kontrak Karya pertambangan baru bisa dilaksanakan dua tahun sebelum kontrak karya yang lama habis. Bila kontrak karya PTFI habis tahun 2021, maka pada tahun 2019 perpanjangan kontrak karya baru bisa dilakukan. Sehingga Pemerintahan Jokowi yang akan berakhir pada tahun 2019 mempunyai peran strategis terhadap perpanjangan kontrak karya tersebut.
Pembuatan KK pertama dan perpanjangannya sangat tertutup dan sarat KKN, sehingga sangat merugikan Bangsa Indonesia. Kasus “papa minta saham” menjadi bukti banyaknya pihak yang ingin menjadi makelar perpanjangan kontrak pada tahun 2019 dengan menjual harga diri dan kedaulatan bangsa untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Dalam KK, seluruh urusan manajemen dan operasional diserahkan kepada penambang. Negara tidak memiliki kontrol sama sekali atas kegiatan operasional perusahaan. Negara hanya memperoleh royalti yang besarnya ditentukan dalam KK tersebut.
Kontrak Karya berbeda dengan Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract/PSC) yang berlaku di industri minyak dan gas bumi. Perbedaan utama ada dalam kontrol manajemen. Dalam kontrak karya, pemerintah tidak mempunyai kontrol sama sekali dalam aspek manajemen dan operasional. Walaupun pemerintah memiliki saham, namun aspek manajemen dan operasional tidak berada dalam wewenangnya. Berbeda dengan PSC, dalam kontrak jenis ini, kontrol manajemen dan operasional tetap ada di pemerintah. Sehingga, apapun yang dilakukan oleh kontraktor harus mendapatkan persetujuan pemerintah terlebih dahulu.
Perbedaan lain adalah karakteristik pengembalian ke Negara. Dalam Kontrak karya, Negara memperoleh royalti yang besarnya sekian persen dari hasil produksi. Seluruh biaya menjadi tanggungan kontraktor. Sedangkan dalam PSC, seluruhnya adalah milik Negara dan akan dibagi antara milik Negara dan milik kontraktor setelah dikurangi biaya produksi.
Kritik utama atas KK PTFI adalah kecilnya royalti yang diterima oleh Indonesia. Untuk tembaga, royalti sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual.
Selain itu, KK pertama PTFI mendapatkan kritik karena bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam UU tersebut, Negara mengakui hak adat sedangkan KK I PTFI, memberikan konsesi yang terletak di atas tanah adat. Bahkan dalam satu klausul KK nya, PTFI diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area KK nya.
Selain royalti yang besarnya sudah diatur dalam KK, PTFI memberikan royalti tambahan (mulai 1998) yang besarnya sama dengan royalti yang diatur dalam KK (untuk tembaga) dan dua kali untuk emas dan perak. Royalti tersebut diberikan sebagai upaya dukungan bagi pemerintah dan masyarakat lokal. Royalti tambahan ini diberikan apabila kapasitas milling beroperasi di atas 200.000 metric ton/hari. Pada tahun 2009, kapasitas milling mencapai 235 ribu metric ton/hari. Berdasarkan laporan keuangan Freeport McMoran 2009, total royalti (royalti KK dan additional royalty) sebesar US$ 147 juta (2009), US$ 113 juta (2008) dan US$ 133 juta (2007).
Berdasarkan KK pertama, tidak ada kewajiban PTFI untuk melakukan divestasi saham ke pihak nasional. Baru di KK yang kedua, PTFI diwajibkan untuk melakukan divestasi saham ke pihak nasional hingga 51% dalam jangka waktu 20 tahun. Namun dalam kenyataannya, PTFI tidak pernah menjalankan kewajiban tersebut, dengan alasan PP 20/1994 yang mengatur bahwa asing boleh menguasai 100% saham perusahaan tambang. Padahal ketentuan ini bertentangan dengan KK yang mengharuskan divestasi hingga 51%.
PTFI baru mengakui, bahwa mereka menambang emas pada tahun 2005, sebelumnya yang diakui hanya penambangan tembaga. Banyaknya emas yang ditambang selama 21 tahun, tidak pernah diketahui publik sebelumnya.
Mengacu pada UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk melakukan renegosiasi kontrak seluruh perusahaan tambang asing yang ada di negeri ini. UU ini menggantikan UU Nomor 11 tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan bulan pasca penandatanganan KK. Berdasarkan data Kementrian ESDM, sebanyak 65 persen perusahaan tambang sudah berprinsip setuju membahas ulang kontrak yang sudah diteken. Akan tetapi sebanyak 35 persen dari total perusahaan tersebut masih dalam tahap renegosiasi, salah satunya adalah PTFI.
Menurut Direktur dan CEO PTFI, Armando Mahler, kontrak pertambangan yang dimiliki perusahaan dengan pemerintah Indonesia sudah cukup adil bagi semua pihak. Hal ini mengindikasikan bahwa pihak PTFI enggan untuk patuh kepada UU yang berlaku, yaitu UU no. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dari sini terlihat bahwa kasus PTFI ini tidak hanya merugikan negara triliunan rupiah akan tetapi juga menginjak-injak kedaulatan Republik ini dengan tidak mau patuh terhadap UU yang berlaku.
Menurut pakar ekonomi dari Universitas Padjajaran sekaligus aktivis LSM Econit, Ibu Hendri, setidaknya ada tiga alasan mengapa solusi PTFI ini bukan sekedar negosiasi. Pertama, Yaitu meluruskan aturan perundang-undangan yang menyimpangkan amanah konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Kedua, Renegoisasi atau perubahan Kontrak Karya (KK) yang tidak memakai dasar konstitusi tidak akan memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat Indonesia. Dan yang terakhir, rakyat Papua secara khusus dan bangsa Indonesia secara umum membutuhkan dana yang besar untuk mengerjar ketertinggalan dalam membangun manusia maupun fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung pelayanan sosial dan kemajuan ekonomi.
Pemerintahan Jokowi mengajukan lima syarat bagi PTFI untuk memperpanjang kontrak karya, yaitu pertama perpanjangan kontrak baru bisa dilakukan dua tahun sebelum kontraknya habis. Ini sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2014. Perusahaan asal Amerika Serikat ini baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pada 2019. Kedua adalah terkait penggunaan barang dan jasa yang digunakan PTFI dalam kegiatan operasinya. Dia meminta PTFI untuk meningkatkan penggunaan barang dan jasa dalam negeri (local content). Ini merupakan salah satu poin yang termasuk dalam renegosiasi kontrak pertambangan. Ketiga, terkait divestasi saham PTFI Indonesia untuk dalam negeri. Rencananya tahun ini PTFI akan mendivestasikan 10,64 persen sahamnya kepada pemerintah. Saham yang dilepaskannya ini merupakan bagian dari total kewajiban divestasi saham sebesar 30 persen. Ini juga merupakan salah satu dari enam poin renegosiasi kontrak karya yang disepakati oleh PTFI. Saat ini pemerintah telah memiliki 9,36 persen saham PTFI yang didapat sejak Kontrak Karya (KK) generasi pertama ditandatangani pada 1967. Dengan demikian, PTFI akan melepas 20,64 persen lagi sisa saham divestasi PTFI. Keempat, meningkatkan pembayaran royalty khususnya untuk tiga komoditas tambangnya, yakni tembaga, emas, dan perak. Pemerintah menetapkan royalti tembaga naik dari 3,5 persen menjadi 4 persen. Royalti emas dari 1 persen menjadi 3,75 persen dan perak dari 1 persen menjadi 3,25 persen. Kelima, PTFI wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
Pada awal tahun 2017 ini, PTFI mengajukan permohonan perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Cara ini ditempuh sebagai upaya agar tetap mendapatkan izin mengekspor konsentrat. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara telah mengatur, mulai 11 Januari 2014 semua mineral yang diekspor harus sudah dimurnikan.
Untuk tetap bisa melakukan ekspor konsentrat, syarat pertama adalah mengubah diri menjadi IUPK. Syarat kedua yaitu harus membangun smelter, ketiga harus divestasi saham sebanyak 51 persen, dan keempat wilayah kerjanya akan sesuai ketentuan yaitu 25 ribu hektar. Karena proses perubahan menjadi IUPK membutuhkan waktu lama, maka pemerintah akhirnya mengeluarkan IUPK sementara untuk PTFI selama 6 bulan. Diharapkan Pemerintahan Jokowi akan tegas menerapkan peraturan yang akan menguntungkan bagi Bangsa Indonesia, tanpa terbujuk atau tertipu dengan berbagai muslihat PTFI yang telah sekian lama mengeruk keuntungan dari bumi Indonesia.
Indonesia sebagai bangsa yang besar, harusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial seperti pajak, deviden ataupun pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi juga harus fokus pada keuntungan ekonomi. Pemerintah harus mempunyai visi besar dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, pemerintah harus mempunyai koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana pemanfaatan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia.
Sudah selayaknya kita memandang kasus PTFI ini selain dengan pemahaman yang mendalam dan secara komprehensif. Harus kita ingat bahwa masalah ini bukan sekedar penandatangan kontrak kerja baru, hitam di atas putih. Melainkan masalah yang lebih krusial lagi, yaitu penegakkan kedaulatan Republik Indonesia. Donald Trump pasti akan mengupayakan segala cara agar kepentingan Amerika di Freeport tetap langgeng. Karena di tengah harga komoditas migas yang sedang lesu, komoditas emas yang dihasilkan Freeport akan menjadi sumber ekonomi yang sangat berharga. Semoga Jokowi dengan sikap “keras kepala”nya bisa menghadapi arogansi Trump.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar