Sabtu, 04 Februari 2017

STRATEGI MENGHADAPI MEA

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DENGAN STRATEGI DIVERSIFIED PRODUCTION SYSTEM UNTUK MENGUATKAN KETAHANAN NASIONAL DI ERA MEA

Dimulainya ASEAN Economic Community (AEC) atau lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016 telah membuka pasar bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan modal di antara negara-negara ASEAN. Sebelumnya, pada tahun 2003 telah diberlakukan ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan dilanjutkan dengan ASEAN China Free Trade Area pada tahun 2010. Indonesia juga bergabung dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang diberlakukan pada tahun 2010 untuk negara maju, dan pada tahun 2020 untuk negara berkembang (UMK, 2014). MEA adalah pemanasan bagi Indonesia sebelum terintegrasi secara total ke pasar bebas dunia.
Sebagian masyarakat memandang pesimis MEA karena beberapa alasan. Pertama, indeks daya saing Indonesia yang masih rendah. Menurut Global Competitiveness Report 2015-2016, Indonesia menduduki peringkat ke 37, berada di bawah Singapura (2), Malaysia (18) dan Thailand (32), namun masih unggul di atas Filipina (47), Vietnam (56), Laos (83), Kamboja (83) dan Myanmar (131) (Wartaekonomi, 2015). Kedua, fundamental ekonomi nasional belum kokoh. Pasar bebas akan menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi dunia. Ketiga, penegakan hukum masih lemah, khususnya hukum pelestarian lingkungan. Pasar bebas akan meningkatkan kompetisi di antara pelaku ekonomi yang memicu terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN dan sumber daya alam yang melimpah tentu sangat menggoda negara lain untuk berinvestasi dan mengeruk kekayaan alamnya. Sementara itu, otonomi daerah yang seharusnya menjadi penggerak kemakmuran dan mempersiapkan masyarakat menghadapi MEA, malah dijadikan bancakan oleh sebagian elit politik daerah untuk mengeruk kekayaan dengan mengeksploitasi sumber daya alam.
Faktor eksternal dan internal ini dapat menghambat proses pembangunan dan merupakan ancaman bagi ketahanan nasional. Untuk itu diperlukan strategi pembangunan berkelanjutan yang menjembatani pertumbuhan ekonomi, pemberdayaan sosial dan kelestarian lingkungan untuk meningkatkan ketahanan nasional.

Ketahanan Ekonomi sebagai Ujung Tombak Ketahanan Nasional
Hakekat ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa dan negara untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan. Ketahanan Nasional Indonesia dikelola berdasarkan Astagatra yang meliputi unsur-unsur: 1) geografi, 2) kekayaan alam (SDA), 3) kependudukan (SDM), 4) ideologi, 5) politik, 6) ekonomi, 7) sosial budaya dan 8) pertahanan keamanan.  Unsur 1-3 disebut Trigatra atau tiga aspek alamiah dan unsur 4-8 disebut Pancagatra atau lima aspek sosial. Ketahanan nasional mengandung makna keutuhan semua potensi yang terdapat dalam wilayah nasional, baik aspek alamiah maupun sosial, serta memiliki hubungan erat antara gatra di dalamnya secara komprehensif dan integral (Riechihuhu, 2010).
Konsep ketahanan nasional harus disesuaikan dengan konteks kekinian, untuk itu penulis menambahkan satu gatra yaitu Teknologi Informasi (TI), sehingga akan membentuk Nawagatra. TI sangat penting saat ini, dan negara yang menguasai TI akan mampu memenangkan kompetisi global.
Di era globalisasi saat ini, aspek ekonomi menjadi ujung tombak dalam persaingan global dan harus didukung oleh delapan aspek lainnya. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini:


Gambar 1. Nawagatra

Menjadikan ekonomi sebagai ujung tombak, bukan berarti pembangunan ekonomi yang menjadi panglima dan mengabaikan delapan aspek lainnya. Namun sembilan aspek tersebut harus dikembangkan secara seimbang sehingga saling mendukung, menguatkan dan memberikan nilai tambah untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi Bangsa Indonesia.

Sustainable Development dan Sustainable Management
Paradigma pembangunan nasional yang mengutamakan proses industrialisasi, produksi massal dan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi membawa implikasi terhadap kemampuan lingkungan hidup dalam menampung berbagai jenis limbah dan sampah industri. Dilihat dari dimensi ekonomi, usaha untuk pembukaan kawasan baru secara berlebihan untuk kebutuhan industrialisasi terjadi karena tidak hadirnya mekanisme pasar yang berorientasikan lingkungan hidup (Uwityangyoyo, 2012).
Oleh karena itu diperlukan strategi pembangunan yang menjaga keseimbangan di antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan daya dukung sumber daya alam. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang dicetuskan oleh World Commission on Environment and Development dalam Cheah & Cheah (2002),  yaitu bahwa pembangunan ekonomi, ekologi and sosial harus ditempatkan secara seimbang.
Keberhasilan pembangunan berkelanjutan tidak hanya tanggung jawab Pemerintah, melainkan juga tanggung jawab swasta. Sehingga, sustainable development pada tingkat nasional dan internasional (makro) memerlukan konsep serupa, yaitu sustainable management, pada tingkat organisasi dan perusahaan (mikro) (Cheah & Cheah, 2002). Keterkaitan ini dijelaskan pada tabel berikut ini :

Tabel 1
Keterkaitan Antara Sustainable Development dan Sustainable Management
Dimension

Focus
Corporate performance criterion
Societal performance criterion
Global performance criterion
Economic sustainability
Competitiveness
Corporate profitability
Societal wealth

Global wealth
Ecological sustainability
Habitability
Corporate ecoefficiency
Societal ecoefficiency
Global ecoefficiency
Social sustainability
Community
Corporate reputation
Societal quality of life
Global quality of life
All dimensions
Combined foci
Sustainable management index
Sustainable development index
Sustainable development index
(Sumber: Cheah & Cheah, 2002)

Lebih lanjut, Cheah & Cheah (2002) mengatakan, jika sinergi positif secara sukses dihasilkan oleh pendekatan integratif ini, maka akan membuka kemungkinan untuk mencapai keadaan sustainable abundance (Q4), seperti terlihat pada gambar berikut ini:


Gambar 2
From Unsustainable Scarcity to Sustainable Abundance
(Sumber: Cheah & Cheah, 2002)

Untuk mewujudkan sustainable abundance diperlukan perubahan strategi dari Mass Production System (MPS) menjadi Diversified Production System (DPS).  Perbedaan antara strategi DPS dengan MPS dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2 Characteristics of The Old and New Dynamics of Production
Dimension

Old dynamics of the mass production system
New dynamics of the diversified production system
Location

The product or service is available only at specific or limited locations.
The product or service is available anywhere (everywhere).
Time

The product or service is available only at specific or limited times.
The product or service is available at any time.
Variety

The product or service is available only in specific or limited forms.
The product or service is available in multiple or customized forms.
Material

The product is tangible and bulky.
The product is miniaturized, or intangible, or available as a service.
Price

The product or service is available at a price.
The product or service is available at no charge.
Provider

The product or service is provided by others.
The product or service is self-provided.

(Sumber: Cheah & Cheah, 2002)

Penutup
MEA akan menciptakan jaringan ekonomi terbuka yang sangat cocok untuk penerapan DPS. Penerapan DPS akan menciptakan sustainable abundance yang merupakan tujuan akhir dari sustainable development dan sustainable management. Strategi ini akan menciptakan ketahanan ekonomi dan memperkuat ketahanan nasional.

Referensi:
Cheah, Hock-Beng dan Melanie Cheah, 2002. “Sustainable Development and Sustainable Management: Promoting Economic, Ecological and Social Sustainability in Post-crisis Asia”. Dalam Usha C.V. Haley dan Frank-Jurgen Richter (eds). Asian Post-crisis Management: Corporate and Govermental Strategies for Sustainable Competitive Advantage. New York: Palgrave Macmillan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar