PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN DENGAN STRATEGI DIVERSIFIED
PRODUCTION SYSTEM UNTUK
MENGUATKAN KETAHANAN NASIONAL DI ERA MEA
Dimulainya ASEAN Economic Community (AEC) atau lebih
dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal tahun 2016 telah membuka
pasar bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil, dan modal di antara
negara-negara ASEAN. Sebelumnya, pada tahun 2003 telah diberlakukan ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan dilanjutkan
dengan ASEAN China Free Trade Area
pada tahun 2010. Indonesia juga bergabung dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) yang diberlakukan pada tahun
2010 untuk negara maju, dan pada tahun 2020 untuk negara berkembang (UMK, 2014).
MEA adalah pemanasan bagi Indonesia sebelum terintegrasi secara total ke pasar
bebas dunia.
Sebagian masyarakat memandang
pesimis MEA karena beberapa alasan. Pertama,
indeks daya saing Indonesia yang masih rendah. Menurut Global Competitiveness Report 2015-2016, Indonesia menduduki
peringkat ke 37, berada di bawah Singapura (2), Malaysia (18) dan Thailand
(32), namun masih unggul di atas Filipina (47), Vietnam (56), Laos (83),
Kamboja (83) dan Myanmar (131) (Wartaekonomi, 2015). Kedua, fundamental ekonomi nasional belum kokoh. Pasar bebas akan
menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap gejolak ekonomi dunia. Ketiga, penegakan hukum masih lemah,
khususnya hukum pelestarian lingkungan. Pasar bebas akan meningkatkan kompetisi
di antara pelaku ekonomi yang memicu terjadinya eksploitasi terhadap sumber
daya alam dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
Indonesia dengan jumlah penduduk
terbesar di ASEAN dan sumber daya alam yang melimpah tentu sangat menggoda
negara lain untuk berinvestasi dan mengeruk kekayaan alamnya. Sementara itu,
otonomi daerah yang seharusnya menjadi penggerak kemakmuran dan mempersiapkan
masyarakat menghadapi MEA, malah dijadikan bancakan oleh sebagian elit politik daerah
untuk mengeruk kekayaan dengan mengeksploitasi sumber daya alam.
Faktor eksternal dan internal ini dapat
menghambat proses pembangunan dan merupakan ancaman bagi ketahanan nasional.
Untuk itu diperlukan strategi pembangunan berkelanjutan yang menjembatani
pertumbuhan ekonomi, pemberdayaan sosial dan kelestarian lingkungan untuk
meningkatkan ketahanan nasional.
Ketahanan
Ekonomi sebagai Ujung Tombak Ketahanan Nasional
Hakekat ketahanan nasional adalah
kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa dan negara untuk dapat menjamin
kelangsungan hidupnya menuju kejayaan. Ketahanan Nasional Indonesia dikelola
berdasarkan Astagatra yang meliputi unsur-unsur: 1) geografi, 2) kekayaan alam
(SDA), 3) kependudukan (SDM), 4) ideologi, 5) politik, 6) ekonomi, 7) sosial budaya
dan 8) pertahanan keamanan. Unsur 1-3
disebut Trigatra atau tiga aspek alamiah dan unsur 4-8 disebut Pancagatra atau
lima aspek sosial. Ketahanan nasional mengandung makna keutuhan semua potensi
yang terdapat dalam wilayah nasional, baik aspek alamiah maupun sosial, serta
memiliki hubungan erat antara gatra di dalamnya secara komprehensif dan
integral (Riechihuhu, 2010).
Konsep ketahanan nasional harus
disesuaikan dengan konteks kekinian, untuk itu penulis menambahkan satu gatra
yaitu Teknologi Informasi (TI), sehingga akan membentuk Nawagatra. TI sangat
penting saat ini, dan negara yang menguasai TI akan mampu memenangkan kompetisi
global.
Di era globalisasi saat ini, aspek
ekonomi menjadi ujung tombak dalam persaingan global dan harus didukung oleh delapan
aspek lainnya. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar
1. Nawagatra
Menjadikan ekonomi sebagai ujung
tombak, bukan berarti pembangunan ekonomi yang menjadi panglima dan mengabaikan
delapan aspek lainnya. Namun sembilan aspek tersebut harus dikembangkan secara
seimbang sehingga saling mendukung, menguatkan dan memberikan nilai tambah
untuk menciptakan keunggulan kompetitif bagi Bangsa Indonesia.
Sustainable Development dan Sustainable Management
Paradigma pembangunan nasional yang
mengutamakan proses industrialisasi, produksi massal dan pencapaian tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi membawa implikasi terhadap kemampuan lingkungan hidup dalam
menampung berbagai jenis limbah dan sampah industri. Dilihat dari dimensi
ekonomi, usaha untuk pembukaan kawasan baru secara berlebihan untuk kebutuhan
industrialisasi terjadi karena tidak hadirnya mekanisme pasar yang berorientasikan
lingkungan hidup (Uwityangyoyo, 2012).
Oleh karena itu diperlukan strategi
pembangunan yang menjaga keseimbangan di antara pembangunan ekonomi dan sosial dengan
daya dukung sumber daya alam. Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development)
yang dicetuskan oleh World Commission on
Environment and Development dalam Cheah & Cheah (2002), yaitu bahwa pembangunan ekonomi, ekologi and
sosial harus ditempatkan secara seimbang.
Keberhasilan pembangunan
berkelanjutan tidak hanya tanggung jawab Pemerintah, melainkan juga tanggung
jawab swasta. Sehingga, sustainable
development pada tingkat nasional dan internasional (makro) memerlukan
konsep serupa, yaitu sustainable
management, pada tingkat organisasi dan perusahaan (mikro) (Cheah &
Cheah, 2002). Keterkaitan ini dijelaskan pada tabel berikut ini :
Tabel
1
Keterkaitan
Antara Sustainable Development dan Sustainable Management
Dimension
|
Focus
|
Corporate
performance criterion
|
Societal
performance criterion
|
Global
performance criterion
|
Economic
sustainability
|
Competitiveness
|
Corporate
profitability
|
Societal
wealth
|
Global
wealth
|
Ecological
sustainability
|
Habitability
|
Corporate
ecoefficiency
|
Societal
ecoefficiency
|
Global
ecoefficiency
|
Social
sustainability
|
Community
|
Corporate reputation
|
Societal
quality of life
|
Global
quality of life
|
All
dimensions
|
Combined foci
|
Sustainable
management index
|
Sustainable
development index
|
Sustainable
development index
|
(Sumber: Cheah & Cheah, 2002)
Lebih lanjut, Cheah & Cheah
(2002) mengatakan, jika sinergi positif secara sukses dihasilkan oleh
pendekatan integratif ini, maka akan membuka kemungkinan untuk mencapai keadaan
sustainable abundance (Q4), seperti
terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar
2
From
Unsustainable Scarcity to Sustainable Abundance
(Sumber: Cheah & Cheah, 2002)
Untuk mewujudkan sustainable abundance diperlukan
perubahan strategi dari Mass Production
System (MPS) menjadi Diversified
Production System (DPS). Perbedaan
antara strategi DPS dengan MPS dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel
2 Characteristics of The Old and New Dynamics of Production
Dimension
|
Old
dynamics of the mass production system
|
New
dynamics of the diversified production system
|
Location
|
The product or service is available only at
specific or limited locations.
|
The product or service is available anywhere
(everywhere).
|
Time
|
The product or service is available only at
specific or limited times.
|
The product or service is available at any time.
|
Variety
|
The product or service is available only in
specific or limited forms.
|
The product or service is available in multiple
or customized forms.
|
Material
|
The product is tangible and bulky.
|
The product is miniaturized, or intangible, or
available as a service.
|
Price
|
The product or service is available at a price.
|
The product or service is available at no charge.
|
Provider
|
The product or service is provided by others.
|
The product or service is self-provided.
|
(Sumber: Cheah & Cheah, 2002)
Penutup
MEA akan menciptakan jaringan
ekonomi terbuka yang sangat cocok untuk penerapan DPS. Penerapan DPS akan
menciptakan sustainable abundance
yang merupakan tujuan akhir dari sustainable
development dan sustainable
management. Strategi ini akan menciptakan ketahanan ekonomi dan memperkuat
ketahanan nasional.
Referensi:
Cheah, Hock-Beng dan Melanie Cheah, 2002. “Sustainable
Development and Sustainable Management: Promoting Economic, Ecological and
Social Sustainability in Post-crisis Asia”. Dalam Usha C.V. Haley dan
Frank-Jurgen Richter (eds). Asian
Post-crisis Management: Corporate and Govermental Strategies for Sustainable
Competitive Advantage. New York: Palgrave Macmillan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar