Pendekatan
Cara Berfikir Sistem (Systems Thinking)
dan Total System Intervension (TSI)
Organisasi
adalah sebuah sistem sosial, bersifat multi-dimensional dan beraneka rupa (multifaceted). Teori sistem menganggap
organisasi sebagai sistem terbuka yang memiliki batasan (boundary) dan melakukan interaksi dengan lingkungan, serta harus
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan untuk bertahan hidup. Sehingga sangat
relevan jika kita mengkaji permasalahan di dalam organisasi dengan pendekatan
cara berfikir sistem (systems thinking).
Systems thinking berasal dari General Systems Theory yang dikembangkan
oleh Ludwig von Bertalanffy pada tahun 1920-an. Systems thinking berbeda secara mendasar dengan bentuk analisis
tradisional. Pendekatan ini tidak terfokus pada bagian-bagian terpisah yang
sedang diteliti, tetapi terfokus pada hubungan umpan balik antara sesuatu yang
sedang diteliti dan bagian lain dari sistem. Pendekatan ini tidak melakukan
isolasi pada bagian yang lebih kecil dari sistem, tetapi memperluas cakupannya
pada interaksi yang lebih besar. Dengan cara ini systems thinking menciptakan pemahaman yang lebih baik dari gambar
besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa systems
thinking lebih holistik dan tidak reduksionis. Perbedaan Non System Thinking dan System Thinking dari aspek sistem dan
bahasa sistem dapat dibandingkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 1 Perbedaan Non System Thinking dan System
Thinking
|
Non
System Thinking
|
System
Thinking
|
Aspek
Sistem
|
Reductionism (Martin dan Holwell, 2010)
|
Holism (Bawden, 1998)
|
Dogmatism (Martin dan Holwell, 2010)
|
Pluralism
(Bawden, 1998)
|
|
Bahasa
Sistem
|
Masalah
|
Situasi Masalah
|
Solusi (Pemecahan
masalah)
|
Resolusi (Perbaikan
keadaan)
|
Sumber: Jackson (2000) dalam Wilopo
(2013)
Ide inti paling mendasar dari systems thinking adalah bahwa sistem
mempunyai sifat yang menyeluruh dan sifat itu tidak akan muncul pada bagian
sistem tersebut secara individu, hal ini disebut sebagai ‘emergent properties’. Konsep emergent
properties ini berkaitan dengan sebuah pandangan terhadap realitas sebagai
sebuah lapisan hirarki (Checkland dan Scholes, 1990:19).
Pada awalnya konsep sistem merujuk pada
‘natural systems’, yaitu sistem yang
diciptakan oleh alam, dan ‘designed
systems’, yaitu sistem yang diciptakan oleh manusia. Namun untuk
menjelaskan kompleksitas situasi yang dihadapi oleh manusia, kemudian
dikembangkan konsep Human Activity Sistem,
yaitu seperangkat aktivitas yang disatukan dalam sebuah struktur logika untuk
mencapai tujuan keseluruhan (kemampuan untuk mencapai tujuan menjadi sebuah emergent property secara keseluruhan).
Terdapat dua pendekatan dalam berpikir
sistem yaitu hard dan soft system thinking. Secara sederhana,
keduanya dibedakan atas dasar jenis masalah yang dihadapi. Hard system digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang terstruktur
dengan jelas, sementara soft system digunakan
untuk menyelesaikan situasi masalah yang kompleks, tidak terstruktur dan tidak terdefinisi dengan
baik.
Hard systems thinking mengasumsikan bahwa dunia bagaikan
mesin, terdiri dari berbagai sistem yag dapat dijadikan model dan “direkayasa”.
Para pemikir hard system berasumsi
realitas itu objektif, sehingga realitas tampak sama bagi siapa pun yang
menjadi pengamat. Soft systems thinking
tidak mengasumsikan bahwa dunia ini sistemik dan sangat teratur; sebaliknya,
pendekatan ini mengasumsikan bahwa realitas adalah sesuatu yang “problematik”,
dicirikan dengan berbagai pendekatan dan perspektif. Pemahaman terhadap
realitas tergantung pada pengamat, interpretasinya, dan fokus yang dia pilih.
Sehingga soft thinking lebih
subjektif dan tidak objektif.
Secara formal, perbedaan antara Hard systems thinking dan Soft systems thinking dinyatakan dalam
terminologi yang menekankan pada tradisi ontologis (sistem sebagai pencerminan
entitas dunia nyata) dan tradisi epistomologis (sistem sebagai alat pembelajar
untuk mengetahui entitas dunia nyata) (Reynolds dan Holwell, 2010).
Maani
and Cavana (2000) menjelaskan bahwa dua jenis pendekatan itu bersifat saling
melengkapi dan memperkuat, karena masing-masing memiliki kelebihannya sendiri. Berikut
ini perbedaan antara pendekatan hard
system dan soft system:
Tabel
2
Perbedaan antara Pendekatan Hard System dan Soft System
|
HARD
APPROACH
|
SOFT
APPROACH
|
Definisi Model
|
Representasi dari real world
|
Sebuah cara untuk
memperdebatkan dan memberikan wawasan tentang real world
|
Definisi
Masalah
|
Jelas dan hanya
satu dimensi (satu tujuan)
|
Ambigu dan
multidimensi (banyak tujuan)
|
Pelaku dan
Organisasi
|
Tidak
dipertimbangkan
|
Merupakan bagian
integral dari model
|
Data
|
Kuantitatif
|
Kualitatif
|
Tujuan
|
Solusi dan
optimalisasi
|
Wawasan dan
pembelajaran
|
Hasil
|
Produk dan
rekomendasi
|
Perkembangan/kemajuan
melalui pembelajaran kelompok
|
Sumber : diadaptasi dari Kambiz E. Maani and Robert
Y. Cavana (2000:21)
Checkland
dan Poulter (2006) menjelaskan perbedaan antara Hard Systems Thinking dan Soft
Systems Thinking dari persepsi dan posisi pengamat (observer) sebagai berikut:
Tabel
3 Perbedaan Hard Systems Thinking dan Soft
Systems Thinking
|
Hard
Systems Thinking
|
Soft
Systems Thinking
|
Systemicity
|
The world: systemic
|
The process of
inquiry: systemic
|
The observer’s
Perceived real world
|
Well structured
could be broken down into systems and subsystems
|
Messy and ill
structured
|
Observer position
|
“I spy systems
which I can engineer”
|
“I spy complexity
and confusion; but I can organize exploration of it as learning system”
|
Sumber:
Checkland dan Poulter (2006)
Untuk
memilih metodologi sistem yang tepat diantara dua pendekatan tersebut dapat
menggunakan Total System Intervention
(TSI). TSI yang dikembangkan oleh Flood dan Jackson pada tahun 1991merupakan
sebuah meta-methodology, sebuah
kerangka kerja bagi metodologi sistem, yang menyatukan berbagai metafora sistem
dan berbagai pendekatan sistem untuk pemecahan masalah secara kreatif (Mehregen
et al, 2011).
Flood
dan Jakson menciptakan TSI karena ketika akan menggunakan metodologi sistem
kita dihadapkan pada pendekatan sistem yang sangat banyak, sehingga sulit untuk
memilih sebuah pendekatan yang relevan dengan konteks permasalahan yang
dihadapi. Flood menjelaskan bahwa TSI pada intinya adalah sebuah proses yang
memungkinkan kita untuk menggunakan berbagai metode yang berbeda, dengan
terlebih dahulu berfikir secara kreatif tentang jenis permasalahan yang
dihadapi organisasi, dan kemudian memilih metode yang paling tepat untuk
memecahkan masalah tersebut secara efektif. Ada tiga tahap dalam proses TSI,
yaitu kreativitas (creativity),
pemilihan (choice) dan penerapan (implementation) (Mehregen et al, 2011).
Untuk
memudahkan kita membuat keputusan yang tepat, Flood dan Jackson membuat sebuah
pengelompokan dari situasi konteks masalah dalam sebuah matriks yang
diperlihatkan pada tabel berikut ini:
Tabel
4
Matriks
Pengelompokan Konteks Masalah
|
Unitary
|
Pluralist
|
Coercive
|
Simple
|
Simple- Unitary
|
Simple- Pluralist
|
Simple- Coercive
|
Complex
|
Complex- Unitary
|
Complex- Pluralist
|
Complex-Coercive
|
(Sumber : Flood and Jackson (1991)
dalam Mehregen et. al (2011))
Matriks
tersebut terdiri dari dua dimensi; satu dimensi terkait dengan tingkat
kompleksitas permasalahan sistem, dan dimensi yang lain terkait dengan hubungan
dari pihak yang terlibat dalam konteks masalah tersebut. Jackson menjelaskan
hubungan kedua dimensi sebagai berikut: sebuah hubungan kesatuan (unitary) terjadi jika sekelompok orang
mempunyai nilai-nilai dan kepentingan yang seragam; sebuah hubungan pluralis
terjadi jika nilai-nilai dan kepentingan berbeda tetapi mereka mempunyai
kesamaan yang cukup besar untuk tetap menjadi anggota koalisi yang membentuk
organisasi tersebut; dan hubungan konfliktual atau paksaan (coercive) terjadi jika kepentingan
mereka berbeda dan tidak dapat disatukan, serta melahirkan kekuasaan yang
menyebabkan salah satu kelompok dikorbankan (Mehregen et al, 2011).
Flood
dan Jackson kemudian membuat sebuah rekomendasi metodologi sistem yang paling
tepat terkait situasi kontekstual permasalahan yang relevan. Mereka menyebutnya
sebagai sebuah ‘system of systems
methodologies’, seperti terlihat pada Tabel 5 berikut:
Tabel
5
Pengelompokan
Metodologi Sistem Berdasarkan Asumsi Konteks Masalah
|
Unitary
|
Pluralist
|
Coercive
|
Simple
|
· Operations research
· Systems analysis
· Systems engineering
· System dynamics
|
· Social systems design
· Strategic assumption surfacing and testing
|
· Critical systems heuristics
|
Complex
|
· Viable system diagnosis
· General systems theory
· Socio-technical systems
· Contingency theory
|
· Interactive planning
· Soft systems methodology
|
?
|
(Sumber
: Flood and Jackson (1991) dalam Mehregen et. al (2011))
Untuk
dapat menggunakan pendekatan TSI dengan lebih baik, terdapat subsistem untuk
menerapkan setiap situasi permasalahan dalam aktivitas organisational, yang
ditunjukkan pada Tabel 6 berikut ini:
Tabel
6
Subsistem
dalam Total System Intervention
Systems methodology (examples)
|
Assumptions about Problem Contexts
|
Underlying metaphors
|
System dynamics
|
Simple-Unitary
|
Machine/Team
|
Viable systems diagnosis
|
Complex-Unitary
|
Organism/Brain/Team
|
Strategic Assumption Surfacing and
Testing
|
Simple-Pluralistic
|
Machine/Coalition/Culture
|
Interactive planning
|
Complex-Pluralistic
|
Brain/Coalition/Culture
|
Soft systems methodology
|
Complex-Pluralistic
|
Organism/Coalition/Culture
|
Critical systems heuristics
|
Simple-Coercive
|
Machine/Organism/Prison
|
(Sumber
: Flood and Jackson (1991) dalam Mehregen et. al (2011))
Perencanaan
strategis dan pengukuran kinerja pada organisasi publik berada pada konteks
kompleks-pluralis, karena jumlah pihak yang terlibat sangat banyak dengan
berbagai cara pandang yang berbeda, serta permasalahan yang dihadapi sangat
kompleks dan sulit untuk didefinisikan. Sehingga metodologi sistem yang tepat
dalam penyusunan rencana strategis dan pengukuran kinerja adalah Soft System Methodology.
Referensi:
Checkland,
Peter, and Jim Scholes. 1990. Soft
Systems Methodology in Action. Chichester: John Wiley and Sons Limited.
Checkland,
Peter. and Poulter, John. 2006. Learning
for Action: A Short Definitive Account of Soft Systems Methodology and its use
for Practitioners. Chichester: John Wiley and Sons Limited.
Maani, K. E.
& Cavana, R. Y., 2000. Systems
Thinking and Modelling. New Zealand: Pearson Education.
Mehregan,
Mohammad Reza, Mohammad Safari Kahreh, dan Homayoun Yousefi. 2011. “Strategic
Planning by use of Total Systems Intervention Towards the Strategic Alignment”.
International Journal of Trade, Economics
and Finance, Vol. 2, No. 2, April 2011.
Reynolds,
Martin dan Sue Holwell. 2010. Systems
Approaches to Managing Change: A Practical Guide. Editors. London:
Springer.
Wilopo. 2013. Pembaruan Kelembagaan dan Tata Kelola Dalam
Rangka Perbaikan ICT USO (Riset Tindakan Berbasis Multimetodologi Berbasis Soft
Systems Methodology diperkaya dengan Social Network Analysis). Disertasi. Program Pasca Sarjana Ilmu
Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar