Manajemen
Kinerja Strategis
(Strategic Performance Management)
Perencanaan
strategis dan pengukuran kinerja selama ini dianggap sebagai dua tahap
manajemen yang dilakukan secara terpisah. Perencanaan strategis merupakan
bagian dari formulasi strategi dan pengukuran kinerja merupakan bagian dari
implementasi strategi.
Formulasi
strategi merujuk pada proses dimana sebuah organisasi menentukan arah dan
lingkup jangka panjang secara keseluruhan dan merupakan sebuah upaya yang
bertujuan mengembangkan keunggulan kompetitif organisasi sehingga meningkatkan
kinerjanya. Sedangkan implementasi strategi merujuk pada proses merubah
strategi menjadi tindakan dan memonitor serta menilai hasilnya. Walaupun secara
konseptual berbeda, namun mulai disadari bahwa formulasi dan implementasi
strategi saling tergantung. Strategi harus diformulasikan dengan baik agar
dapat diimplementasikan, dan melalui pembelajaran selama implementasi maka
strategi organisasi diperbaiki dan bahkan diformulasikan kembali (Gimbert et al, 2010).
Vishvesh
Pathak (2009) dalam Afifah (2013) menyatakan bahwa kinerja sangat terkait
dengan strategi, karena kinerja adalah hasil tindakan sedangkan tindakan yang
dilakukan merupakan implementasi strategi. Kinerja merupakan pencapaian dari
suatu kegiatan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pada tujuan
strategis yang dicanangkan. Mengukur kinerja organisasi mempunyai peran penting
dalam menterjemahkan strategi organisasi menjadi hasil (Pun dan White, 2005).
Menurut
berbagai literatur pengukuran dan manajemen kinerja, dapat disimpulkan bahwa
pengukuran kinerja organisasi harus diselaraskan dengan tujuan strategis
organisasi tersebut dan menjadi inti dari sebagai besar metodologi pengukuran
dan manajemen kinerja. Strategi yang diselaraskan dengan pengukuran kinerja
dapat memfasilitasi dan mendukung implementasi strategi.
Kegagalan
sistem pengukuran kinerja tradisional yang terfokus pada unsur finansial dan
tidak terkait dengan tujuan strategis telah mencetuskan revolusi pengukuran
kinerja dalam bentuk kerangka kerja (framework).
Framework ini bertujuan membantu organisasi
menentukan ukuran yang mencerminkan tujuan dan menilai kinerja secara tepat,
serta mengkaitkannya dengan rencana strategis. Framework tersebut sering juga disebut dengan Sistem Pengukuran Kinerja
Strategis (Strategic Performance
Measuremet System atau SPMS).
SPMS
adalah proses pengukuran dan manajemen kinerja strategis dari sebuah
organisasi, yang menggambarkan semua proses, metodologi, pengukuran dan sistem
yang diperlukan untuk mengukur dan mengelola kinerja organisasi. SPMS merupakan
mekanisme penting untuk menterjemahkan strategi menjadi berbagai tujuan dan
ukuran yang dapat dikomunikasikan dengan jelas, memfasilitasi implementasi
strategi, mengkaitkan tindakan manajemen dengan tujuan strategis dan
meningkatkan kinerja organisasi (Maksoed et al, 2015).
Menurut
Gimbert et al (2010), SPMS adalah
sistem pengukuran kinerja yang mendukung proses pembuatan keputusan sebuah
organisasi melalui beberapa ciri berikut ini: 1) integrasi strategi jangka
panjang dan tujuan operasional; 2) penentuan pengukuran kinerja dengan beragam
perspektif; 3) penentuan tujuan/ pengukuran/target/rencana aksi dari setiap
perspektif; dan 4) adanya hubungan sebab akibat secara eksplisit antara tujuan
dan/atau diantara pengukuran kinerja.
Beragam
kerangka kerja dan model SPMS telah dikembangkan, diantaranya adalah Performance Measurement Matrix (Keegan
et al, 1989), Results and Determinants
Framework (Fitzgerald et al, 1991), SMART
pyramid (Lync dan Cross, 1991), Balanced
Scorecard (Kaplan dan Norton, 1992), dan Performance Prism (Kennerly dan Neely, 2000).
Semua
kerangka kerja SPMS tersebut mempunyai tema yang sama, yaitu sebagai sebuah
usaha yang serius untuk menyatukan pengukuran kinerja secara lebih erat dengan
strategi dan visi jangka panjang organisasi (Pun dan White, 2005). Perbedaan
antara pengukuran kinerja tradisional dengan SPMS dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel
2.2
Perbedaan
antara Sistem Pengukuran Kinerja Tradisional dengan Strategic Performance Measurement System (SPMS)
Traditional
PM systems
|
Emerging
PM systems (SPMS)
|
Based on traditional accounting system
|
Based on company strategy
|
Based on cost/efficiency
|
Value-based
|
Trade-off between performance
|
Performance compatibility
|
Profit-oriented
|
Customer-oriented
|
Short-term orientation
|
Long-term orientation
|
Prevalence of individual measures
|
Prevalence of team measures
|
Prevalence of functional measures
|
Prevalence of transversal measures
|
Comparison with standard
|
Improvement monitoring
|
Aims at evaluating
|
Aims at evaluating and involving
|
Hinders continuous improvement
|
Stresses continuous improvement
|
Sumber: Based on De Toni and Tonchia
(2001, p. 47); Ghalayini and Noble (1996, p. 68) dalam Pun dan White (2005).
|
Bernard
Marr pada tahun 2006 dan Andre De Wall pada tahun 2007 memperkenalkan framework SPMS berupa Manajemen Kinerja
Strategis (Strategic Performance Management).
Keduanya menggunakan nama yang sama untuk dua buah framewok yang sebenarnya agak berbeda, dengan fungsi dan tujuan
yang sama.
Bennard
Marr (2006:3) mendefinisikan Manajemen Kinerja Strategis sebagai berikut:
“Strategic Performance
Management (SPM) is defined as the organizational approach to define, assess,
implement, and continuously refine organizational strategy. It encompasses
methodologies, frameworks and indicators that help organizations in the
formulation of their strategy and enable employees to gain strategic insights
which allow them to challenge strategic assumptions, refine strategic thinking,
and inform strategic decision-making and learning.”
Sedangkan
definisi Manajemen Kinerja Strategis menurut Andree De Wall (2013:5) adalah
sebagai berikut:
“The process in which steering of the
organization takes places through the systematic definition of mission,
strategy, and objectives of the organization, making these measurable through
critical success factors and key performance indicators in order to be able to
take corrective and preventive actions to keep the organization on track to
great performance”.
Bernard
Marr (2006) membagi tahapan Manajemen Kinerja Strategis menjadi tiga tahapan
utama, yaitu (1) memahami dan mengklarifikasi konteks strategi; (2) mengelola
kinerja dalam sebuah lingkungan yang mendukung pembelajaran; dan (3) melakukan
otomatisasi sistem tersebut dengan menggunakan software pengukuran kinerja. Framework
manajemen kinerja strategis dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Gambar
1 Framework Manajemen Kinerja
Strategis (Sumber: Marr, 2006)
Framework manajemen kinerja strategis yang
dikembangkan oleh Bernard Marr merupakan penyempurnaan dari berbagai framework SPMS yang ada sebelumnya dan
sangat sesuai untuk diterapkan pada organisasi sektor publik. Oleh karena itu
dijadikan research framework dalam
penelitian ini.
Penelitian
ini mengkaji ketiga tahapan dari framework tersebut dan memfokusnya sebagai
alat untuk mengintegrasikan rencana strategis dan pengukuran kinerja. Ketiga
tahapan tersebut dikaji karena melibatkan banyak pihak, membutuhkan analisa
data yang akurat, memberikan dampak yang besar bagi organisasi dan sesuai
dengan situasi permasalahan yang kompleks dan tidak terstruktur.
Berikut
ini langkah-langkah Manajemen Kinerja Strategis yang disarikan dari buku
Bernard Marr “Strategic Performance
Management, Levering and Measuring Your Intangible Value Driver” tahun
2006, dan “Managing and Delivering
Performance” tahun 2008.
1.
Mengklarifikasi
konteks (context) strategi, yang
terdiri dari beberapa tahapan yaitu:
a. Memahami Kondisi Batasan Strategis (Understanding Strategic Boundary Conditions),
yang terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1)
Mengklarifikasi
Tujuan Dasar Organisasi (The
fundamental purpose of the organization).
Tujuan inti sebuah organisasi adalah alasan utama keberadaannya. Hal ini
biasanya digambarkan dalam pernyataan tujuan atau pernyataan misi, yang secara
tepat menggambarkan mengapa sebuah organisasi ada dan apa yang dilakukannya.
Pernyataan misi berfungsi sebagai petunjuk tanpa batasan waktu, yang akan tetap
sama selama berpuluh tahun jika dibuat dengan baik.
2)
Mengklarifikasi
tujuan visioner jangka panjang yang akan organisasi capai (The long-term visionary goals
that the organization will pursue). Tujuan visioner menguraikan tujuan yang
akan dicapai organisasi dalam jangka panjang, menggambarkan outcome yang diinginkan yang memberikan
inspirasi dan energi serta membantu anggota organisasi menciptakan sebuah
gambaran mental dari target tersebut. Biasanya diekspresikan dalam pernyataan
visi yang menggambarkan apa yang organisasi inginkan dan apa yang ingin
dicapai.
3)
Mengklarifikasi
nilai-nilai inti yang organisasi pegang dalam menjalankan tujuan dan mencapai
sasaran (The core values that the organization commits to on
the way to delivering its purpose and achieving its goals). Nilai-nilai
inti merefleksikan nilai-nilai terdalam yang dimiliki organisasi dan harus
independen secara total dari prioritas strategis dan pendekatan manajemen yang
bersifat sementara. Nilai-nilai inti dapat diartikulasikan dalam bentuk
pernyataan nilai (value statements)
yang menentukan batasan tingkah laku bagi anggota organisasi. Nilai-nilai inti
menguraikan prinsip-prinsip bagaimana anggota organisasi berinteraksi di dalam
dan di luar organisasi.
b. Melakukan analisis eksternal yang
terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1)
Mengidentifikasi
Stakeholder utama (Identifying Key Stakeholders). Salah
satu komponen penting dari penentuan strategi, terutama bagi organisasi publik
adalah mengidentifikasi stakeholder
utama yang benar-benar penting bagi organisasi. Stakeholder utama adalah seseorang, sekelompok orang atau sebuah
institusi yang mempunyai sebuah investasi, saham atau kepentingan dalam sebuah
organisasi dan yang mungkin secara signifikan mempengaruhi keberhasilan
organisasi tersebut.
2)
Menilai
Sektor dan Lingkungan Kompetisi (Assesing
sector and Its Competitive Landscape). Organisasi publik beroperasi di
sektor tertentu dalam menyediakan jasa atau produk mereka. Sehingga menjadi
penting untuk menganalisa lingkungan kompetisi dari sektor atau industri tersebut,
hal ini juga disebut sebagai analisis mikro (microanalysis)
3)
Menilai
Kekuatan Lingkungan (Assesing The
Environmental Forces). Organisasi harus memahami kekuatan lingkungan
eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan organisasi tetapi di luar kontrol
mereka. Hal ini meliputi peraturan pemerintah, kondisi ekonomi, penduduk serta
kekuatan sosial dan budaya. Penilaian terhadap lingkungan eksternal ini disebut
sebagai analisis makro (macroanalysis).
4)
Melihat
ke Masa Depan (A Look Into The Future).
Komponen lain yang membantu kita untuk memahami lingkungan luar adalah analisis
skenario (scenario analysis). Dasar
dari perencanaan skenario melibatkan penentuan dan visualisasi pandangan
alternatif tentang bagaiman kondisi saat ini dalam lingkungan operasi yang
mungkin berubah di masa depan. Analisis ini menyaring berbagai kemungkinan
kondisi masa depan yang tak terhingga menjadi hanya beberapa pandangan terkait.
5)
Mengklarifikasi
Proposisi Nilai Stakeholder (Clarifying
The Stakeholder Value Proposition). Proposisi nilai stakeholder adalah sebuah pernyataan tentang cara bagaimana suatu
organisasi akan menggunakan sumber daya dan kompetensinya untuk memberikan
kombinasi nilai tertentu bagi stakeholder
utamanya. Sebuah proposisi nilai akan menyatukan elemen-elemen seperti
kebutuhan pelanggan dan kapabilitas organisasi. Tiga proposisi nilai pelanggan
yang mendasar adalah keunggulan operasional (operational excellence), kepemimpinan produk (product leadership), dan kedekatan dengan pelanggan (customer intimacy).
c. Melakukan analisis internal untuk memahami
sumber daya yang dimiliki organisasi. Sumber daya adalah faktor pemungkin (enablers) dan pendorong (drivers) yang menjadi fondasi kinerja
masa depan. Sumber daya ini dapat dikategorikan dalam sumber daya keuangan (monetary), fisik (physical) dan intangible
resources yang terdiri dari sumber daya manusia (human), hubungan (relational) dan struktur (structural).
Sumber daya organisasi
saling tergantung (interdependent),
semuanya saling terkait membentuk dasar bagi kapabilitas dan kompetensi inti (core competencies). Kompetensi inti
menjadi fondasi terciptanya proposisi nilai stakeholder
dan berbeda dengan kapabilitas. Kapabilitas merujuk pada setiap aktivitas
internal organisasi yang dilakukan dengan sangat baik, sedangkan kompetensi
inti adalah aktivitas internal yang dilakukan dengan sangat baik yang menjadi
pusat bagi strategi organisasi, kemampuan kompetisi (competitiveness) dan proposisi nilai.
d. Memetakan dan Mendefinisikan Strategi (Mapping and Defining Strategy).
Pada tahap ini dibuat
model bisnis yang terdiri dari Value
Creation Maps (VAM) dan Value
Creation Narrative (VCN). Ada dua fungsi utama dari peta strategis visual
dan deskripsi strategi secara narasi, yaitu: (1) memastikan strategi tersebut
terintegrasi dan terpadu (cohesive);
dan (2) supaya mudah dalam mengkomunikasikan strategi tersebut.
Value
creation maps (VCM)
merupakan alat terbaru untuk memvisualisasikan sebuah strategi organisasi. VCM
menyatukan tiga elemen strategi, yaitu proposisi nilai output stakeholder (output
stakeholder value proposition), aktivitas inti (core activities), dan elemen pendukung strategis (enabling strategic elements) atau
pendorong kinerja (drivers of performance).
Ketiga komponen tersebut kemudian ditempatkan dalam keterkaitan satu dengan
yang lain dan divisualisasikan pada selembar kertas untuk menciptakan sebuah
gambar strategi yang lengkap terintegrasi dan koheren.
Deskripsi tertulis
strategi yang singkat dan padat juga harus dibuat, yang disebut dengan Value Creation Narrative (VCN) yang
berisi sekitar 500 – 1.000 kata, tentang bagaimana organisasi bermaksud untuk
menciptakan nilai dengan menyebutkan proposisi nilai, aktivitas inti dan sumber
daya utama yang diperlukan. Sebuah strategi yang didefinisikan dengan jelas akan
menjadi dasar bagi manajemen kinerja strategis yang bagus.
e. Menyelaraskan Organisasi dengan Strategi
(Aligning Organization with Strategy).
Menyelaraskan organisasi dengan strategi
yang telah disepakati dan dipetakan sangat penting untuk mewujudkan strategi
dan memastikan strategi tersebut dapat diimplementasikan. Aktivitas organisasi
harus diselaraskan dengan tujuan strategis yang diuraikan dalam VCM. Aktivitas
adalah semua tugas, proyek, dan program yang dilakukan oleh organisasi.
Aktivitas prioritas kemudian
diterjemahkan ke dalam rencana operasional dengan mempertimbangkan batasan
anggaran. Sehingga, anggaran juga harus diselaraskan dengan strategi yang ada
pada VCM.
2. Mengelola Kinerja dalam Lingkungan yang
mendukung Pembelajaran (Managing
Performance in An Enabled Learning Environment). Langkah ini terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu:
a. Membuat Pertanyaan Kinerja Kunci (Creating Key Performance Questions).
Pertanyaan Kinerja Kunci (Key Performance Question/KPQ) adalah
pertanyaan manajemen yang menangkap secara tepat apa yang orang ingin ketahui
tentang kinerja organisasi serta setiap elemen dan tujuan dalam VCM. Dasar
pemikirannya adalah bahwa KPQ memberikan petunjuk untuk mengumpulkan indikator
kinerja yang relevan dan berarti (meaningful),
dan memfokuskan perhatian kita pada apa yang benar-benar diperlukan untuk
didiskusikan ketika kita meriview kinerja. KPQ meletakkan data kinerja ke dalam
konteks sehingga memfasilitasi komunikasi, membimbing diskusi dan mengarahkan
pembuatan keputusan.
b. Merancang Indikator Kinerja (Designing Performance Indicators).
Indikator kinerja adalah
alat manajemen yang penting. Indikator kinerja memberikan kita informasi dan
bukti yang membantu kita mendapatkan wawasan baru, memungkinkan kita untuk
belajar, membantu kita dalam pembuatan keputusan dan memungkinkan kita
bertindak untuk memperbaiki kinerja di masa depan.
Sebuah indikator kinerja
harus releven dengan informasi yang diperlukan organisasi. Sehingga indikator
kinerja harus: (1) terkait dengan prioritas strategis organisasi, (2) terkait
dengan pertanyaan organisasi yang penting dan belum terjawab, dan (3) terhubung
dengan keputusan penting yang harus dibuat oleh organisasi.
Sebuah indikator kinerja
harus bermakna (meaningful), sehingga
kita harus mengumpulkan informasi yang tepat, dari sumber yang tepat, pada
frekuensi yang tepat, dan kita harus memberikan bukti dan informasi pada orang
yang tepat, dalam format yang tepat dan pada waktu yang tepat.
c. Menganalisa dan Menterjemahkan (Analyse and Interpret)
Menghadirkan data ‘mentah’
kepada manajemen bukanlah ide yang bagus, karena setiap orang akan salah
menterjemahkannya sesuai dengan kebutuhan mereka. Data tersebut harus diolah,
dianalisa dan diterjemahkan sehingga dapat dihadirkan secara jelas kepada pihak
manajemen. Perhatian juga harus diberikan untuk memastikan kualitas data yang
diberikan, karena manjemen harus percaya pada data yang mereka terima untuk
membuat keputusan penting berdasarkan informasi tersebut.
d. Membuat Keputusan Berdasarkan Informasi
(Make Informed Decisions)
Informasi yang dihadirkan
kepada manajemen ada dua tingkatan, yaitu informasi operasional dan informasi
strategis. Informasi operasional kinerja organisasi dalam mencapai tujuan
harian dapat dilihat dari sistem pengukuran yang sama, dan akan memungkinkan
manajemen untuk melakukan tindakan sesuai informasi tersebut. Tetapi informasi
yang sama yang ditempatkan dalam konteks strategi lebih penting. Manajemen
harus melihat kinerja hari ini dalam kaitannya dengan kebutuhan organisasi di
masa depan.
e. Bertindak (Act)
Keputusan berdasarkan
informasi yang dihasilkan menjadi dasar tindakan, kemudian tindakan tersebut
kembali dievaluasi dan menjadi insight
atau pembelajaran untuk meningkatkan kinerja di masa yang akan datang. Proses
pembelajaran ini membentuk double-loop learning,
yaitu model, sistem pengukuran dan indikator kinerja yang digunakan selalu
diuji keakuratannya dan menjadi masukan untuk memperbaiki model, sistem
pengukuran dan indikator kinerja tersebut.
f. Belajar dan meningkatkan kinerja (Learn and improve performance).
Langkah ini bertujuan
untuk mengembangkan budaya yang mendorong kinerja. Sebuah budaya organisasi
menunjukkan keyakinan bersama, norma, nilai, asumsi dan harapan, yang
mempengaruhi pola tindakan dan kinerja tertentu yang menjadi karakter sebuah organisasi.
Budaya yang mendorong
kinerja berarti bahwa orang-orang di dalam sebuah organisasi secara terus
menerus bekerja keras untuk belajar dan memperbaiki. Pusat dari budaya yang
mendorong kinerja adalah pembelajaran dan peningkatan organisasional. Penekanan
pada pembelajaran dan perbaikan adalah aspek paling penting dalam menciptakan
budaya yang mendorong kinerja. Dengan didukung oleh empat hal yaitu: (1) rasa
senasib sepenanggungan, yang menyatukan anggota organisasi dan memberikan
komitmen emosional untuk sukses; (2) akuntabilitas yang jelas dan dapat
diterima terhadap hasil dan kinerja di seluruh organisasi; (3) kejujuran dan
kebenaran terhadap hasil kinerja, yang menciptakan atmosfir kepercayaan dan
saling menghormati; dan (4) definisi yang jelas tentang apa budaya pendorong
kinerja, yang menciptakan pemahaman dan penerimaan terhadap budaya pendorong
kinerja di seluruh organisasi.
Ada empat pondasi (building blocks) yang harus
diimplementasikan secara bersamaan untuk menciptakan budaya kinerja yang tepat,
yaitu:
1.
Kepemimpinan
yang kuat untuk mendorong kinerja (A
strong performance-driven leadership).
2.
Sistem
penghargaan dan pengakuan yang terkait dengan kinerja (Reward and recognize system that is linked to performance).
3.
Mekanisme
pelaporan dan komunikasi yang tepat (Appropriate
reporting and communication mechanisms).
4.
Pertemuan
kinerja yang interaktif dan konstruktif (Interactive
and constructive performance meetings).
Untuk
mengoptimalkan implementasi Manajemen Kinerja Strategis, Bennard Marr menekankan
pentingnya penggunaan aplikasi perangkat lunak manajemen kinerja.
Menurutnya, tidak mungkin untuk
melakukan pengukuran dan mengelola kinerja dalam lingkup organisasi tanpa
dukungan perangkat lunak khusus untuk manajemen kinerja.
Keuntungan
utama dari aplikasi perangkat lunak manajemen kinerja adalah: (1) membantu
melibatkan anggota organisasi (dan stakeholder
eksternal) dalam manajemen kinerja melalui fitur komunikasi dan kolaborasi yang
powerful; (2) menyediakan para pengguna akses terhadap
analisa manajemen kinerja yang powerful;
dan (3) menciptakan satu gambaran kinerja yang terintegrasi.
Penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan sistem manajemen kinerja akan mengarah pada
peningkatan hasil. Namun sayangnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 56%
dari implementasi menajemen kinerja mengalami kegagalan (De Waal, 2007).
Ittner
and Larcker (2003) dalam Mittal (2015) menemukan bahwa penyebab kegagalan
tersebut adalah tidak terkaitnya (non-linkage)
pengukuran dengan strategi, tidak tervalidasinya (non-validation) hubungan sebab dan akibat, kesalahan penetapan
target kinerja dan ketidaktepatan pengukuran.
Demikian
juga Kaplan and Norton (1996) dalam Mittal (2015) menunjukkan empat penghalang implementasi Strategic Performance Measurement (SPM),
yaitu tidak ada keterkaitan tindakan dengan strategi; tidak ada keterkaitan
strategi dengan tujuan departemen, tim dan individu; tidak ada keterkaitan
strategi dengan alokasi sumber daya; dan tidak ada umpan balik strategi. Mereka
juga menginvestigasi kegagalan implementasi SPM disebabkan oleh tidak
dipilihnya pengukuran yang tepat dan kritis, tidak selaras dengan strategi,
kurangnya komitmen manajemen senior, lemahnya komunikasi organisasi dan
terbatasnya penerapan manajemen kompensasi.
Menurut
de Waal (2007), alasan utama rendahnya
tingkat keberhasilan implementasi tersebut adalah fakta bahwa faktor perilaku (behavior) dalam manajemen kinerja sering
kali diabaikan. Agar implementasi manajemen kinerja dapat berhasil maka kedua
sisi manajemen kinerja, yaitu instrumental (mengembangkan indikator kinerja)
dan perilaku (behavior) menjadi
faktor yang sangat penting.
De
Wall (2007) menawarkan sebuah metode untuk mendukung keberhasilan implementasi
manajemen kinerja yang menggabungkan kedua sisi
manajemen kinerja, yaitu The Strategic
Performance Management Development Cycle. Seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
Gambar
2 The Strategic Performance Management Development
Cycle
(Sumber: De Wall, 2007)
The strategic performance
management development cycle
terdiri dari tiga tahapan. Tahap 1 yaitu merancang sebuah model manajemen
strategi. Pada tahap ini organisasi membuat struktur strategi yang menjadi
dasar pembuatan sistem pengukuran kinerja. Langkah-langkah pada tahap 1 terdiri
dari: menyiapkan struktur tanggung jawab yang konsisten; mengembangkan tujuan
skenario dan tujuan strategis; dan mengembangkan rencana aksi strategis.
Tahap
2 yaitu merancang sebuah model pelaporan strategis. Pada tahap ini organisasi
membuat struktur pelaporan untuk memantau dan menyesuaikan eksekusi strategi
dan perkembangan proses bisnis inti. Tahap ini terdiri dari mengembangkan
Faktor Sukses Kunci (Critical Success
Factor) dan Indikator Kinerja Kunci (Key
Performance Indicator); membuat laporan aksi dan pengecualian (exception and action report);
mengembangkan sebuah Balanced Scorecard
(BSC); dan menerapkan sebuah arsitektur teknologi manajemen informasi.
Tahap
3 yaitu merancang sebuah model perilaku yang mendorong kinerja. Pada tahap ini
organisasi membangun budaya yang diperlukan untuk menjadi organisasi yang
didorong oleh kinerja. Tahap ini terdiri dari membangun karakteristik perilaku
yang mendorong kinerja; menyelaraskan tujuan personal dengan tujuan strategis;
dan mengkaitkan manajemen kinerja dengan manajemen kompetensi.
Implementasi
manajemen kinerja strategis tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang panjang.
Hal ini merupakan proses bertahap dimana anggota organisasi diyakinkan terhadap
keuntungan dari manajemen kinerja strategis dan menjadi terbiasa dengan cara
baru tersebut.
Referensi:
Afifah. 2013.
“Pengukuran Kinerja Strategik: Perspektif Tradisional dan Alternatif”. Polibisnis, Volume 5 No.
1 April 2013. Politeknik Negeri Padang.
de Wall, Andree. 2007.
"Successful Performance Management? Apply the Strategic Performance Management Development Cycle!", Measuring
Business Excellence, Vol. 11 Iss 2 pp. 4 – 11.
_____________. 2013. Strategic
Performance Management, A Managerial and Behavioral Approach. New York:
Pallgrave MacMillan.
Gimbert,
Xavier, Josep Bisbe dan Xavier Mendoza. 2010. “The Role of Performance
Measurement Systems in Strategy Formulation Processes”, Long Range Planning Journal, doi:10.1016/ j.lrp.2010.01.001.
Maksoud, Ahmed
Abdel, Said Elbanna, Habib Mahama dan Raili Pollanen. 2015. "The use of performance
information in strategic decision making in public organizations", International Journal of Public Sector
Management, Vol. 28 Iss 7 pp. 528 – 549.
Marr, Bernard.
2005. Strategic Performance Management,
Levering and Measuring Your Intangible Value Driver, Elsevier Ltd, Oxford:
UK.
____________.
2008. Managing and Delivering Performance,
Elsevier Ltd, Oxford: UK.
Mittal,
Mohammad Akhtar Raj Kumar. 2015. "Implementation Issues and Their Impact
on Strategic Performance Management System Effectiveness – An Empirical Study
of Indian Oil Industry", Measuring
Business Excellence, Vol. 19 Iss 2 pp. 71 – 82.
Pun, Kit Fai dan
Anthony Sydney White. 2005. “A Performance Measurement Paradigm for Integrating
Strategy Formulation: A Review of Systems and Frameworks”. International Journal of Management Reviews. Vol. 7 Issue 1, pp.
49-71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar